Senin, 04 Februari 2013

Sisterhood//Angsa Hitam




:Fanny Chotimah

Malam Solomio. Seorang perempuan dengan baju hitam. Sebuah hubungan Sisterhood dari sungai-sungai bahasa. Idealisme perempuan itu. Yang menjahitkan aku sebuah baju berbahan Vintage. Biola di tubuhnya. Idealisme yang menggantungku di bawah payung pemberadaban manusia. Sebutir kapas menempel di lehernya yang jenjang. Diam dalam terowongan panjang. Cinta dalam selubung rokok kretek, dua cangkir kopi, dan sebuah percakapan. Tiga dengan selubung asap yang sama.

“Aku lahir di dalam kultur.” Kataku. Ia tersenyum. 

Ia menggandengku dan menuntunku di atas matanya yang biru. Ide-ide terbakar. Rumah di atas spaghetti dan dua gelas tarian tangan. Dua angsa yang kulihat itu, dua angsa yang berteriak itu. Aku layu di dalamnya. Telapak kakinya bersama seekor burung perempuan sehabis terjal di jalan berbatu. Aku mengelus mimpiku. 
Ia menciumku dengan dinginnya. Aku telah menjadi waktu yang meleleh di dalam kain hitamnya.

Sebuah sepeda dan becak yang mematung di depan kami. Berhenti dalam halte yang telah kami lukis sebelumnya. Halte demi halte, menjadi percakapan film dan sastra. Aku telah menukar cincin dengan ide. Menukar cincin dengan cinta yang lepas di matanya. Saat dan saat. Butir-butir gerak. Aku rikuh. Ia melepasku. Memberikan aku sebuah pelukan. Di dalam senyumannya, aku telah mati dalam perburuan.

Aku melihat laut dan angin. Seperti akar yang wangi, yang kupijak dan kubenangi dengan tisu-tisu bekas darahku. Tanda di atas tanda. Aku berhenti masuk ke dalam matanya. Diam telah meledakkan diriku. Aku terlalu malu dalam nyanyian Adele. Labil dalam labirin yang ia ciptakan. Alam telah menggandakan aku. Menuju yang ia pijak di kakinya.

Kaukah itu? Angsa yang indah dalam mata biru. Waktu telah membelah segalanya. Waktu telah membagi segalanya. Sungai tetap mengalir pada jalannya. Awan tetap menari di punggung kepala kita. Siapa aku? Bayi berekor burung. Dan segala yang aku cipta, seperti kendaraan tolol yang tak dapat menjengukmu di halte ujung sana.


Sartika Dian Nuraini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar