Selasa, 27 Maret 2012

Mekar


Mekar

Maka saat matanya lelah, ia akan jatuh dalam pelukan sungai yang meliuk-liuk di dalam mimpinya. Ia merebahkan diri dan masuk dalam rumah lebah-lebah yang bising, meletakkan kaki dan tangan di dalam suaranya sendiri, sehingga kaki dan tangan itu berjalan perlahan dan suara itu parau, suara itu mengulitinya. Maka suatu kali lelaki lebah bunga berkata ia ingin pergi ke langit dan memetik bunga-bunga langit dan mengunduh sebuah lubang berisi biji-biji yang akan ia taburkan pada malam sebelum singgah satu cahaya sedikitpun. Bulan tak ada. Bintang pun menghilang.
Lelaki lebah bunga menjadi takut biji-biji itu tak tumbuh dan bunga-bunga tak akan bersemi dari pohon-pohon, dan dari biji-biji terlihatlah lelaki merah padam serta gemetar, memandang sebongkah batu yang tak mau ia tanam pada sebuah lubang berisi biji-biji kecil dari bunga-bunga yang belum sempat mengembang. Gemeletar tubuhnya seakan menjadi satu biji lagi kenikmatan.
Layu. Bunga tak akan layu hanya saat ia memandangi matahari menyeruput kopinya.
Bunga itu tak mampu menatap matanya. Ia ingin menjadi bunga yang merunduk. Bunga itu diam dan takut, dan kadangkala ia tersenyum memandang lelaki lebah bunga, karena lelaki lebah bunga selalu menatapnya tanpa mata.
Bunga itu malu. Ia mulai mendengar gemericip burung, ekor kuda tersibak-sibak di kepalanya, di janggutnya, di pipinya, di jemarinya. Ia mabuk oleh suara yang mengambang pada ujung bibirnya.
Kemudian Ia pergi. Melarung sepucuk puisi koyak. Lalu kembali lagi dengan  biji-biji dalam genggaman tangannya yang ia ikat pada pintu rumahnya. Di dekat pintu akan ia tanam pula satu bunga lagi, ia sembunyikan satu bunga itu di dalam tanah agar tak ada orang yang mengambilnya, lalu ia merahasiakan segala-galanya. Segala yang melingkupinya. Segala yang menjadikannya tak mampu mekar, sehingga ia akan mengabadi dan wangi di dalam tanah itu. Rahasianya akan terpendam dibalik pintu. Tetapi pintu itu kering, telah mengering. Dan segalanya tak akan ada padanya, segalanya ada di dalam tanah yang lupa ia kunci. Kunci itu ada pada matanya yang hijau lalu kemerahan dan kebiruan, dan sebuah permata. Ia butakan matanya, agar tak ada yang melihat matanya lagi, tak ada yang melihat sepucuk rahasia di balik pintu.
Tapi ia kedinginan. Pintu tak akan bisa tertutup, tapi langit masih menarik lengannya, membiarkannya duduk terbaring bersama angin dan hujan yang hanya semusim saja. Dan biji itu tumbuh menjadi langit yang kosong tiada rupa.