Kamis, 31 Mei 2012

Kasur Kosong


Empty Bed

The bed is empty. It moves. It grabs me. Carry nothing. nothing which could be so odd in a dignity. When I wish I could fairly hear the voice of protests, movements of recognitions, I was well aware. I was vivid, watch and wondered where I could stand before living.
I roll my eyes in predicament. That there is more and more emptiness of the lonely, indepted, and secluded heart of some fine high-free pecking birds. To stand before living, again.
I still wondered where is that, the real relief? 
I dont quite know which. And concious was the part which might be once aimable and charming. But I bear up and worn out in a flash of an empty eye.
where is what? A lighting sign? relief and reassurance? had it softly dropped by? 
I continued no where, reconsidered if there is another way I could live in. Where such a prayer would be the most submissive stupidity. But let me hear at least. Like a nonsense nervous idiotic I thought I be. And might be.
I daresay, I dont know how I say. Therefore all my nonsense was just a witty face, and it falls at the edge of a new chatasthrope. So I stood up once again, observing my only self. I walk and I walk a mild away outside my body. I walk through a frame by frame, hearing only sound that haunted. The very night. The very point.
Here I come, showing anything but dozens of empty envelope, waiting to be sent away. Far. Far away. Instead of thinking I would be fainted, scattered, ragged. In a quite dignity.
Deep still things to be passed when we come to pass within.
“The bed is still empty” I said again, stood still.

May31

Minggu, 27 Mei 2012

Puisi Hitam


Puisi Hitam

Kini tibalah kita pada senja. tak lagi ia sama.
Seperti bait ini, hitam, usang, mendebu.
Syahdan, di lembar akhir, aku bersiap, kau menatapku, telah kita buka, detik berhenti , gemetar aku dan senyap, gemetar mulutku, menatapku. Aku berjalan di antara nyanyian malaikat-malaikat hitam. Satu keringat, menghempas tingkapku sudah. Jemariku putus. puing-puing rumah menghantui tidurnya. bulan tinggal satu, bumi tinggal satu, kelopak hanya tinggal satu, lilin tinggal satu, lukisan bolong, langit bolong, Kita tak percaya langit, langit itu kotor. hatiku bergetar, begitu kasar. lilin tak mematung diri pada hening di tengah malam itu.
suara violin kelambu,
membiru,
membatu.
Lindap suara yang mengecil. Anjing melolong. Derap langkah menghilang. Daun-daun gugur.
Usai ini, dunia cuti.
hatiku jadi kuburan abadi. bagai dawai dipetik kasar. Ijinkan aku jadi kubur batu.

Sabtu, 26 Mei 2012

Taman Daun


Taman Daun

Puisi mati, rupa sunyi, daun lelah, dan tubuh melusuh dalam buih-buih cat minyak.
“Engkau datang kepintuku, daun, mintalah air padaku, curilah kuda negri.”
Kita nanti akan menyadari hal lain. Mungkin. Saat tak ada yang hendak mengerti dirimu disini. Daun. Saat tak ada yang hendak memperhatikanmu. Saat tak ada yang hendak mendengarmu. Engkau harus mengakui kekalahan itu. Daun. Engkau mau melukis apa? Memang tak ada yang mempu engkau lakukan. Tak ada yang mampu menembus ruang peka. Ruang hidup, ruang mati, Daun.
Dia yang penuh dengan ruh, kerimbaan, kesunyian, dan kata-kata dan rupa. Disinilah kita bertemu. Saat akhir dan Saat permulaan. Sebersit cahaya. Juga sebotol kebahagiaan itu.

Selasa, 15 Mei 2012

Surat dan Puisi yang Aku injak


Surat dan Puisi yang Ku Injak
                                            Untuk: Afrizal Malna

Afrizal Malna,
Aku Sartika Dian Nuraini. Panggil saja aku dengan nama tengahku. Sejak usia 9 tahun, aku selalu membawa koleksi buku puisi Ibuku kemanapun. Ibuku mengagumi Chairil Anwar. Dongeng-dongeng yang dibacakannya bukan Cinderella atau cerita Rajamala. Ibu mendongengi puisi untukku setiap malam. Puisi itu dongengan Ibu.
Tapi ada masa kelam. Bagiku, puisi justru menjauhkanku dengan Ibu. Aku cemburu. Cemburu pada puisi, karena Ibu selalu tampak lebih menyayangi puisi ketimbang aku, Maka, puisi adalah makhluk yang kubenci, seutuh-utuhnya. Aku tak mau dekat-dekat dengannya. Puisi adalah mara bahaya.
***
Teringat sebelumnya, satu masa. Power-rangers masih berkuasa. Siluman ular putih dan maklampir tenar juga.  Suatu hari, siang tak begitu terang, sepulang sekolah. 1998. Bu Guru membekaliku sepucuk surat yang dibungkus dengan sekantong plastik berisi satu pak pensil warna dan satu lembar kertas. Bu Guru menyuruhku memberikan bungkusan plastik itu pada Ibu di rumah. Aku pulang dengan gemetar, menggenggam plastik hitam.
Dengan gelagat lugu, mata yang bulat dan begitu ingin tahu, di jalan aku membuka surat. Aku harus berjalan pelan-pelan. Aku bisa membaca walau masih tersendat dan mengeja. Di surat itu tertulis dengan rapi huruf bersambung,

Untuk bu Suprapti,
Di tempat.

Dengan hormat,
Kami memberitahukan bahwa anak Ibu terpilih untuk mengikuti “LOMBA PUISI antar SD Se-Kecamatan Sidoarjo” yang akan dilaksanakan pada 17 mei nanti. Untuk itu mohon bantuan Ibu untuk membimbing Sartika.

Salam hangat.
Sundari










Ku ulangi membacanya. Aku terpilih untuk puisi? Ah kenapa aku? Puisi begitu kubenci.
Panas matahari tak begitu menyengat tapi tubuhku bersimbah keringat. Aku melanjutkan langkah tak goyah. Ku lipat surat, kumasukkan lagi ke dalam amplop, lalu berjalan sejenak. Lalu berhenti, berdiri tak tegak. Bu Sundari tampaknya salah telah memilihku. Aku melongok ke amplop coklat buram itu lagi. Ibuku tak perlu tahu, pikirku. Aku mau menyobek surat itu. Mau menyobek surat itu!
Siang yang merana. Sepucuk surat kupandangi lama-lama. Aku melihat ke atas langit. Aku melihat pohon-pohon yang begitu tinggi di mataku. Dan begitu tinggi juga kulihat langit itu. Langit begitu curam dari bawah. Aku menunduk, melihat sepatu boots hitam yang tak kalah kumal dengan seragam merah-putih yang kukenakan. Di sepatu itu, ada tanda satu kegilaan: bocah kecil yang selalu main bledukan. Warna hitam tak hitam lagi. Penuh debu dan goresan benda-benda lain yang ditabrakinya, yang disandunginya, dan yang diinjakinya. Sepatu itu lincah tapi bersalah. Sepatu itu salah telah mengantarku ke sekolah.
Sekarang, bagaimanapun aku harus menghadapi sepucuk surat yang dikirim bu Sundari kepada Ibuku. Surat itu kujatuhkan. Kuinjak dengan sepatu boots yang membawaku ke sekolah setiap hari itu. Puisi juga kuinjak dengan sepatu boots yang tak hitam. Kuinjak dengan penuh dendam.
Surat itu berisi pengharapan bu Sundari... Aku masih membenci puisi, hingga kini. Aku membisu. Ibuku tak pernah tahu. Afrizal Malna, jika aku berdosa karena berbohong dan menginjak-injak puisi dan pengharapan bu Sundari dengan sepatuku, aku ingin menebus dosa itu.
Puisi menghantui. Masa kecil begitu suram. Puisi itu soliloquy. Bantu aku memisahkan diri dari mimpi buruk puisi. Semoga kau mau membimbingku, menggantikan tugas ibuku. Terimakasih.

Jumat, 04 Mei 2012

Sepucuk Doa Untuk Air Kata-Kata


Dariku: sepucuk doa untuk air kata-kata*


kata,
mata,
suara,
gua,
tua,
warna,
suksma.

Pejam Mata: Kita akan bertemu dan dunia memejam dalam genggammu. Saat itu, terlukislah sebaris jembatan, sepasang pintu, selembar jagat yang kau gurat di telapakkaki-tangan bocah kecil. sampai ia tua, merangkak menuju caya yang temaram. Aku pudarkan cayaku, aku luruh di airmu. Ucapnya.

Pagi Bening: kau larungkan sekuntum yang menguncup di Nairanjana-nya. Berbalut kain putih, berjalan di sisi-nya. aku melihatmu dengan mata tak menyala, tubuh tanpa nama, sukma sepadam senja. Beri aku rupa, kata. Katanya.

Kidung-kidung bertabuh: air kesunyian mengguyur tubuhku hingga ia hanyut, berdenyut dan darah melepuh di tanah, rupaku. Beri aku dada dan dahaga. Pintanya. 

Sais Purnama: Kami para lukisan menuntut, satu kata terurai sehingga pelaut-pelaut itu menemu jalan pulang. Lukisan-lukisan tak ingin digantung di dinding hitam, Beri mereka jalan pulang. Mauku. Maunya.

Sais Senja: Turunkan seekor burung dengan luncuran-luncuran menukik sedangkan senja di ufuk yang sama masih menanti satu lagi cahaya, satu lagi keheningan yang tak terukir lewat apa saja. Hanya dirinya. 

Dandang Gula: Suara suling merayuku semalam. membuatku tertunduk pada waktu yang menyembunyikan satu pertanyaan: entah kapan kita akan bertemu lagi di lindap suaramu yang merdu. Dan aku pun tergugu pada rumput perdu.

*Kado kecil untuk Sindhunata