Selasa, 15 Mei 2012

Surat dan Puisi yang Aku injak


Surat dan Puisi yang Ku Injak
                                            Untuk: Afrizal Malna

Afrizal Malna,
Aku Sartika Dian Nuraini. Panggil saja aku dengan nama tengahku. Sejak usia 9 tahun, aku selalu membawa koleksi buku puisi Ibuku kemanapun. Ibuku mengagumi Chairil Anwar. Dongeng-dongeng yang dibacakannya bukan Cinderella atau cerita Rajamala. Ibu mendongengi puisi untukku setiap malam. Puisi itu dongengan Ibu.
Tapi ada masa kelam. Bagiku, puisi justru menjauhkanku dengan Ibu. Aku cemburu. Cemburu pada puisi, karena Ibu selalu tampak lebih menyayangi puisi ketimbang aku, Maka, puisi adalah makhluk yang kubenci, seutuh-utuhnya. Aku tak mau dekat-dekat dengannya. Puisi adalah mara bahaya.
***
Teringat sebelumnya, satu masa. Power-rangers masih berkuasa. Siluman ular putih dan maklampir tenar juga.  Suatu hari, siang tak begitu terang, sepulang sekolah. 1998. Bu Guru membekaliku sepucuk surat yang dibungkus dengan sekantong plastik berisi satu pak pensil warna dan satu lembar kertas. Bu Guru menyuruhku memberikan bungkusan plastik itu pada Ibu di rumah. Aku pulang dengan gemetar, menggenggam plastik hitam.
Dengan gelagat lugu, mata yang bulat dan begitu ingin tahu, di jalan aku membuka surat. Aku harus berjalan pelan-pelan. Aku bisa membaca walau masih tersendat dan mengeja. Di surat itu tertulis dengan rapi huruf bersambung,

Untuk bu Suprapti,
Di tempat.

Dengan hormat,
Kami memberitahukan bahwa anak Ibu terpilih untuk mengikuti “LOMBA PUISI antar SD Se-Kecamatan Sidoarjo” yang akan dilaksanakan pada 17 mei nanti. Untuk itu mohon bantuan Ibu untuk membimbing Sartika.

Salam hangat.
Sundari










Ku ulangi membacanya. Aku terpilih untuk puisi? Ah kenapa aku? Puisi begitu kubenci.
Panas matahari tak begitu menyengat tapi tubuhku bersimbah keringat. Aku melanjutkan langkah tak goyah. Ku lipat surat, kumasukkan lagi ke dalam amplop, lalu berjalan sejenak. Lalu berhenti, berdiri tak tegak. Bu Sundari tampaknya salah telah memilihku. Aku melongok ke amplop coklat buram itu lagi. Ibuku tak perlu tahu, pikirku. Aku mau menyobek surat itu. Mau menyobek surat itu!
Siang yang merana. Sepucuk surat kupandangi lama-lama. Aku melihat ke atas langit. Aku melihat pohon-pohon yang begitu tinggi di mataku. Dan begitu tinggi juga kulihat langit itu. Langit begitu curam dari bawah. Aku menunduk, melihat sepatu boots hitam yang tak kalah kumal dengan seragam merah-putih yang kukenakan. Di sepatu itu, ada tanda satu kegilaan: bocah kecil yang selalu main bledukan. Warna hitam tak hitam lagi. Penuh debu dan goresan benda-benda lain yang ditabrakinya, yang disandunginya, dan yang diinjakinya. Sepatu itu lincah tapi bersalah. Sepatu itu salah telah mengantarku ke sekolah.
Sekarang, bagaimanapun aku harus menghadapi sepucuk surat yang dikirim bu Sundari kepada Ibuku. Surat itu kujatuhkan. Kuinjak dengan sepatu boots yang membawaku ke sekolah setiap hari itu. Puisi juga kuinjak dengan sepatu boots yang tak hitam. Kuinjak dengan penuh dendam.
Surat itu berisi pengharapan bu Sundari... Aku masih membenci puisi, hingga kini. Aku membisu. Ibuku tak pernah tahu. Afrizal Malna, jika aku berdosa karena berbohong dan menginjak-injak puisi dan pengharapan bu Sundari dengan sepatuku, aku ingin menebus dosa itu.
Puisi menghantui. Masa kecil begitu suram. Puisi itu soliloquy. Bantu aku memisahkan diri dari mimpi buruk puisi. Semoga kau mau membimbingku, menggantikan tugas ibuku. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar