Rabu, 30 November 2011

Percakapan Senja


Ziarah Kata I

“Tawamu itu kata terindah sebait puisi Blake
yang kau suguhkan saat malam masih menggumam dalam jeda”
kurangkul rembulan, tenang girang
nyala mata tutup duka

senyummu itu bait puisi, kataku
disana ada kata suci, katamu
sebuah sabda yang hanya aku yang memiliki, katamu
kuciumi kata-katamu, kataku
saat daun-daun gugur, ladang tak menganggur, katamu

di perbukitan tua, saat kata
masih berupa seekor katak yang malumalu
ingin memetik jiwaku, katamu
biar duniadunia jadi surealis, kataku

Aku bermimpi
memeluk rumah, bersimpuh sahadah
melesap kata jadi sabda, itu ulah
melumpuh,sepuh,rapuh
aku berlari




Minggu, 27 November 2011

Sang Kekasih Kata



Sang Kekasih Kata

Lelayang surga, untuk itulah
Sebenarnya kata-kata ini tercipta
Agar ia terbang bersama angin
Ramai dan damai

Surga kataku
tak berumah,
Semalam menangis sendu
seorang kekasih mulai tak bersetia

Surga kataku
tak bertuan,
Dua malam berteman bir dan lagu
Yang mengingat tak sempurna

Surga kataku hilang
Hanya ada ilalang
Kering berbayang mayang
Terbang, jauh melayang

Surga kataku, Syurga
Seperti daun perdu pemakan rumput
Dan puisi pilu mengeriput
Laparpun menjemput

Lapar, kekasihku surga kata,
Lapar, lapar, lapar kata
Dan kita tak tahu kemana ia
Hanya senja mengekornya

Senin, 21 November 2011

Sembah Sejarah


Sembah Sejarah

Sejarah adalah manusia
Yang terkungkung dalam tempurung
Dan bisa atas bisa
Yang sakit dan terapung

Sejarah adalah air
Yang menggenang, keruh
Yang surut lupa silir
Yang terkenang, jenuh

Sejarah yang bisa bisu
Pernah ada tapi segera layu
Punah disudutsudut menelikung
Jalan diam, jalan suwung

Sejarah bersimbah
Darah manusia di baris kitab
Tak berkarat. 

Pada Frida


Pada Frida

Tubuhmu menumpuk peluh,  rusuh usia
Dua lelaki lusuh dan hari tak penuh

Kemana gerangan senja kata
Melumuri rupa lukismu
Matamu manjamu, jiwamu layu

Pada tungku api, kenangan itu membusuk
hampir membusuk, sudah membusuk
Tapi hitamhitam terusik jingga,
jingga terusik hitamhitam

berisik! katamu, memendam luka
pada diam

Frida, frida, frida
Rupanya memelas
Mengemis tanda
tak pandai membelai
Sejarah tubuh

Pada frida, yang kutau
cemas, dan biduk sang pungkasan
Makna dan tanda, jadi silau keemasan

Gone


Pergi

“Aku ingin pergi
Kedunia tanpa lelaki
Biar kusuguhi gemunung sabar
Bunga-bunga liar yang kesepian
Aku ingin pergi
Kedunia tanpa perawan
Dan merawat kesendirian
Aku ingin pergi
Ke dunia tanpa bercak
Noktah hitam yang sesak
Aku ingin pergi
Ke dunia suci
Mencari tanda” Ucap seseorang
Sembari menggenggam linggis
yang terendap dalam surat
tanpa nama
tanpa alamat
yang ditaruhnya dalam botol
surat yang kelak kekal
mengisahkannya pada bulan tenang
mungkin malam minggu yang tinggal datang tenggelam
aku ingin datang pada rembulan
da berbohong pada malam
bahwa aku inginkan suara, kegelapan
tapi aku tahu, bisik ratap hanya sesal dalam sesak tanyaku
yang datang pada kilauan benang-benang sulam ibu.

Take This Sinking Boat


Kapal Tenggelam

“Ambillah kapal tenggelam itu, bawalah pulang
Kita masih punya waktu” kata seorang lelaki
memecah kebisuan, yang datang berlari
mengejar kesempatan

permainan masih berputar, bermesra-mesra ruang

melingkup di balik jeruji, berputar-putar
 tak mau berhenti tetap
menggelinjang lepas hampar altar
di situ bangkit suara harap

Kelima jari, memetik sunyi
Yang mengendap memekat mimpi
Terantuk besi-besi ditumpukan rapuh
Dan berlarian mencari musuh-musuh

Dan jingkat berlanjut-lanjut
Menerobos curiga di serikat tanya
Menghitamkan langit yang sempat menjadi tanda
Hilangnya seorang pemuda dengan sepedanya

Dan ia bilang, ini pungkasan
Tapi tak sekadar menjemput sang induk semang
Ia membonceng cahaya
Rupanya
Memetik sesal,



Luka itu, Tempat Segala Umpat Tak Tepat Waktu


Di Damaskus, di puncak yang tinggi
Sebuah langit jatuh,
melambai tangan
pada malaikat pembelai bulan,

terkecap senja
telapak kakinya

Sebuah kembang
Jatuh ke tanahbasah

nukilan bulan
tak menyejarah

Barangkali tempat bersitatap
Adalah sebuah tidur senyap
didalamnya sebuah kerudung kermizi
dan kedua burung berniat
menyiulkan sakit
yang sarat terawat

Gelisah tiada putus
Juga genap mengucap kesal
mengadu nasib pada langit tak lagi tegap,
tak lagi sombong,
tak lagi angkuh, tak lagi kukuh

langit telah mematikan lampu, kereta tak bisa lagi berjalan
menembus malam
seorang perempuan membawa nampan
tanpa kain, menembus malam

 luka itu,
tempat segala umpat tak tepat waktu
Melindap di batas-batas suara
tak lagi guna

Ketika Kata Tak Sanggup Menelan Waktu


Ibuku dan Ibumu
Air dan hujan, siapa kalian? ibuku, atau ibumu?
Ataukah ibu yang lain yang diam sementara debu berterbangan dan menempel dirimbunnya pepohonan
Langit yang diatasnya ada pendar-pendar bintang seribu kejora, kaliankah ibuku atau ibumu yang turut melangkah bersama pendulum bisu dan berdetak-detik
Pasir putih dan segala gejolak didalamnya,adalah klimaks dalam film dan gambar-gambar kosong
Gelombangnya membawaku masuk dalam ketiadaan
Semalam entah kenapa ada mimpi yang kosong berbicara tentangmu. tak ada klimaks. yang ada hanya samar-samar yang memayakan tubuhmu dan punting bergoyang-goyang.
Suatu hari ada pualam yang retak diantara kakiku dan kakimu.
Kita menikmati malam pukah berdua.
Ibuku patah.
Ibumu ternyata juga.


Surakarta, 25 november 2010
Sartika Dian Nuraini









The Voice of a Hole
Months, Hours, Minutes, Bodies, and Holes
One of them, waiting the death coming
Two of the holes, waiting for the dawn
Three of em, sails to the emptiness of the sky
My holes, crawling on the dirty walls
dive in the old huts thatched

Five of them are still silent
 waiting for the rain


There were two eyes looking at me, spying
burried on my face, burried on my heart
Put his fingers through his hard tip
So I'm silent

Months
Half moon covered the flowers in the sky
and fragile space in my heart, die
closing down
I was alone

Rather I want to unify
following months of embarrassment.
And spies that dumb.
















Knocked! (1)

She knocked off the poem with the greatest of ease in short of time
He knocked three bottles of beers in the space of ten minutes
And This news knock me back a bit,
Doesn’t it?

What knocks me is his impudence
When I realize the three young student girls were knocking around outside the cinema where the incident occured.
He knocks his about a bit.

And the harvest was badly knocked about by that freak strom
And the slum property has been evacuated
It will be knocked down
And it will be replaced by modern blocks of flats.

My brother has just knocked someone in the street of Oolalah
He is the only man who knocked a man with an empty pocket and no money inside
He is the only knocked man.
But he knocked back, and the money came out, My brother has the money
And he is knocked,                                                what a pity.

The fight ended in a knock-out victory for the challenger
Because the soldier knocked out two enemy tanks with his bazooka
Oh,                                          what a pity.



Surakarta,
25 Januari 2010
Sartika Dian Nuraini







Knocked! (2)


Then I knock him out, I know
I am sorry, the hut looked as if it had been knocked by someone in a great hurry.
Then I saw, two pieces of wood outside the hut knocked their heads together
Why ever did she let him knock her out?

I don’t know.

Hey dude, would you mind knocking me up at about 7 o’clock tomorrow
As I must catch the early train to Solo?
I am a marvel you know.
At knocking up a meal for unexpected guest you bring and I dont know.

Tulkiyem is a regular knocked out!
You must see it though.
For a moment I was completely knocked out by the news of her pregnant
And It was some time before I could convince my self that it had really happened.
That I don’t know.



Surakarta,
21 November 2010
Sartika Dian Nuraini














Terima
Sajak picisan untuk Marketta Irglova

tak lagi benderang layaknya suaramu
Sajak seperti baju tanpa kantong
Ada besok yang tak kita mengerti,
Apakah jejak sakit masih menunggumu?

Akhiri waktu di pelabuhan
dermaga tlah terbungkus kabut
karena tak mengerti yang terucap
mengucap renta

pagi lelah, kau temukan di bawah jendela,
Sepucuk senyum, senyum mengembang

Terima ia, bunga

kebisuan antaramu, membisukanku,
membisukan dunia
Aku mengartikan lagumu dengan secarik tangisan
Yang jatuh tak berbait
Mungkinkah maknanya: Kau bunga, impian, dan cinta

Ada bagian di hari lain untuk bertemu
pada ujung siang
Bukan menunggu
burung-burung perkutut
Yang pulang,
menghilang di kantung langit

Datang padanya, seperti roda-roda
yang dipacu para pengikut Musa
Kerna ia menunggu









Angka Pisah. Bulat



5 hari 5 Menit
Angka 5
25 dan 11
Angka satu dan angka dua

Angka kecil dan besar
Angka merayapi Sejarah diri
Angka mati
Tegak berdiri
Kaku, menakut-nakuti





























Pengajaran


Ada cincin sepi
Merindu madah siang
mengeluarkan embun
tubuh
sang renta Katanya,
aku mursal

Aku diberi surat Amsal

Di balut cemburu
cincin itu
Bukan dunia Kosong!





























Perempuan Sesal: Nol



Bulan jatuh
menabrak bumi, limbung disusun api
Semalam, ada
setumpuk sakit
Yang digendong
seorang perempuan
di barak kata

Ada selasar sesal
Menangis,
Sayap kanan yang hilang
Ia, perempuan,
kunang-kunang
kedinginan
Masih dapat
jatah kehidupan


Perempuan kata,
Perempuan rupa
Nol







Pengembara Pagi: Untukku

Kau mampu Menepis hari hanya karena redupku?
Bangkit, hai pengembara pagi
Jangan takut siang menyingsing
Jalan masih bisu, celana
dan kain lembut
seduhan kopi
panas
terhidang
matamu
Jangan

takut lelah, meradang
Ibu juga belum pulang.
Ayah tak juga datang.
Maka,
aku yang mencuri seduhan hari






























Bohf... Bohf

Wajahmu jadi sejarah

Darah di bajumu terisi penuh
Dalam garis rupa
Dua garis terakhir, menghimpitku, menjeratku

Coba, menyalak saja
Bohf, Bohf
Mirip anjing jantan yang lagi makan
Ikan-ikan mati

Ini sifat sunyi
Ladang kebenaran yang dikubur































Suara mayat payudara
Kau tinggal aku di pekuburan tua
Kau bungkus aku dengan kain merah tua
Kau ludahi, mati



























Tabir Pongah
Sebelum dan sesudah menunggang onta putih itu
Nabi berkata pada senja yang bertabir bisu, “aku mencintaimu”
Kemudian ia mengambil sepotong kayu
dan memeluk senja sembari
memotong kakinya sendiri
karena menyesal tak bisa
memberikan harta yang lain
selain sepotong kaki itu.
Onta marah-marah pada
nabi yang suci dan hampir mati
Tapi tidak di sini.
Nabi telah mati di tubir siang
Menunggu syurga menjemput





























Kemarau

Aku terpukau pada kemarau
Yang memanggil pulang seorang renta dengan kayu bakarnya
Ia menyurut, menyusut di balik jemari
Dan terkatalah, sumpah itu
Sumpah kering



















Mosaic of a Child

I've just cut off the body of a child
Who dig the ground, incubating time
Chopped into small pockets
Dumped in the crying rosary
Left and abandoned his god-to-be.

The boy,
It all became trash
discarded on the streets
dead end and never be picked 
 raised, maintained

sold to humans who do not have the heart

There was an old man, cut with a pumice stone soul
The old man was robbed

Children's roar
Like insects in a silent cry
Shut up in tears

There is a passage that gave him strength
: Martyria
From the sound of bells and suffering
He never complained
Who never embarrassed his fingers hit
that always stuck in
a rocky face

One day the child died
And live again, see
heaven, cant be back
he conserved

world,
child and his country
secret and body
He, and the world
Not
of a companion, not of a champion











Aku Ingat Senja

Dan kuingat senja lusa hari begitu menawan,
kaper bermain musik, mengejek orang-orang musyrik
lukisan Dali masih mabuk di kursi

aku sepi

kau tanam sebuah makam
dalam matamu dengan sebuah lukisan mabuk
yang dulu berjalan terhuyung lewat daku yang sibuk
mendulang garam

di pematang panjang saat hujan yang sakit
jatuh tertelan nisan yang terlambat tanam itu,

ada kayu ranum yang kulitnya mengering, saat hujan jatuh masih sakit
Lalu kau pindahkan tubuhku, yang lusuh ke sebuah rakit
Untuk melepas kabut
Kerna takdir hanya sempat mengucap kalut

kupindahkan mata, kupindahkan telingamu
ke tempat yang kau tak mengerti, di sebuah lukisan
tapi Lukisan mabuk itu diam di sudut pintu, ngambek menungguku
yang masih punya jantung, bertatap dengan bulan

di Dua nisan,
 aku mengenang
Lima bocah yang merobek lukisan
bergambar ayam mengais tanah harapan

Barangkali Tuhan mengutuk kita
Yang tak tahu mengapa bulan masih membual pada dunia













Eksotopi Tubuh

Tak ada lagi
hari tanpa mencemburui
kembang layu tak bersekam
dan daun-daun layu membusuk,
Dekat gelombang sungai menguning
yang masih menghabisi matari,

sungai tak lagi tahu pantulan silaunya,
 semacam kilat tak berwarna

“Apakah, masih ada bir dan ikan yang terhidang untukku?”
Karna ternyata bukan bulan yang menyemai teduhnya malam
Karna ciumanmu telah mencuri sepucuk surat
yang kau tinggalkan di bait pintu, di sela lemari buku

sepucuk wajah daun jatuh
memandangi kita di penghulu waktu
Saat bergeming dalam gelimang ruang bisu

Surat itu tanya
Atau jawab atas segala kebisuan yang tak peka pada pelupuk tubuh kita
Yang hanya ku sebut dalam hati
Yang kita ingkari sendiri

Di pungkasan siang, saat sepi menikam,
Kita masih menenggak bir dan memangsa ikan
Dan ladang masih bertanam tanpa mata














Bait Jembatan

Kokoh tatapku mengulas tubuhmu
merekat erat pada gerbong kereta
Saat pikatmu jatuh berdebam di kakiku,
Tanganku seraya menjadi jembatan kebohongan yang bermukim di tanganmu
Selalu ku menyulang gembira
Menyalib suara taat dan takut yang tiada henti kuberikan

Andai, sepasang angsa di bawah rembulan bercahaya remang-remang
Menjalin cinta, menangkap ikan, dan meretas lega bersama malam purnama
Tak lagi mengirimi semboja keindahan
untuk hantu-hantu penghuni abad terakhir
Aku kan kembali meringkuk di balik surat,
di balik janji,
di balik ratapan
Menanti

Seperti empu, kau selalu menggenggam pagi
Tapi kau tak serupa Zeus atau Kristus,
kau tak berani membunuh siang
kau merengkuh manusia yang berlari mengejek waktu
yang masuk berjejalan dalam gerbong kereta

Dan jembatan yang kita lalui tadi,
Menggumamkan jeda pada hari yang telah hilang














Tubuh Tuhan
Untuk Chairil Anwar

Masih kupikirkan tekstur Tuhan,
menitip salib di tubuhku
Masih kupikirkan, jemari mengusap mataku
menangis memanggul,
mengucur darah
mengucur darah”

menjerang iba
aku melihat
tubuh setia