Kamis, 18 Oktober 2012

SEJARAH LENGANG*



/I/
Hatiku yang biru laut, museum mati,
manusia alpa puisi,
dan lukisan menangis.
Di dalam rumah itu, tersimpan tanya kita berdua.
Hanya tanya yang berakhir tanpa jawab. Aku mengerut. Sejarah merengut.
Kau menghiburku dengan sepasang mata yang lembut,
yang tulus namun takut.
Kau ingin bawaku pergi dari sejarah yang mati. Katamu.
/II/
Masihkah kau ingat stasiun kereta untuk orang-orang kecil itu,
sebagai hidup sederhana nan indah,
mendengar anak kecil bersorak, bersepeda dikelilingi celotehmu
“Senja seperti dongeng-dongeng kedodoran,” kataku
Aku mendengar kedip matamu semacam mandi di sungai puisi.
Saksama. Hatiku mekar, sungguh, mengelilingi kota tua ini,
Yang kembali hidup, jika bersamamu
Kita berjalan di atas tumpukan sejarah.
Dan legenda yang memerah. Hanyut.
Aku tahu, semua hidup hanya akan menjadi lusuh. Pabrik-pabrik lusuh,
rumah mewah para penjajah lusuh, perdagangan air lusuh,
jembatan itu lusuh.
Bersamamu kota berbicara,
Tentang jejiwa jawa dan leluhur kita.  
Ramasinta dan cinta yang datang sebelum itu.
Tubuh letih. Perlahan memutih.
Suaramu beku, diamku beku. Waktu pun beku.
“Kita dalam puja sejarah.” katamu.

/III/
Alam berbaring tidur, jendela terbuka tiba-tiba, angin
dan gigir malam manja. Mungkin tenang dan berbayang
Kita seperti sepasang kota tua yang tersudut dalam kotak usang.
Di sini, di sisi lain kehidupan,
Kita mencipta sejarah lengang.





*puisi ini ada di buku antologi 200 penyair Indonesia "Flow into the Sink, Into the Gutter" yang diterbitkan oleh Shell, 2012

Maha Matahari


Akulah bias pelangi yang bermukim di atas awan itu, dihimpit langit putih, terjepit dalam bebaris hujan berwarna perak yang sejuk dan silau. Akulah bias cahaya yang tak nyata, menebus segala yang hilang di antaramu. Namun ada, meski tiada.

Tubuhku yang indah, barisan warna kebisuan. Kau membingkaiku dalam satu pigura. Menaruhku dalam suatu lukisan abstrak. Menggantungku miring di sudut alam yang penuh misteri.

Melengkung, meliuk.

Membuai dirimu berjalan-jalan melihat bumi seisinya, jejak waktu seperti melontarkanku pada suara sunyi. Kulihat matamu menatapku dengan nafsu biru. Aku hanya bias cahaya, tak mungkin nyata. Dan aku akan hilang di antara embun-embun pagi setelah pagi merekam sepotong irama burung dan ayam menetas.

Mereka, mendekap.

Jelang lagi kau mencariku saat aku memudar. Kau melukisku dan ingin aku abadi dalam sekotak lukisan. Tapi aku bersegera, mungkin pergi mungkin kembali. Aku melebur bersama debu. Memudar bersama biru. Telah kau katakan warna yang kubawa hanyalah kesejenakan yang dibawa bersama angin sepoi, hangat dan lengket.

Kau mencariku. Kau takut memandang segala yang tak pernah akan abadi.

Menjelang, menepi

Kini kita tak mungkin mematung keabadian tolol, aku ingin ada. Kau ingin ada. Di dalamku. Di dalammu.

Saat biasku memudar, kau melukis senja menggantikan ruangku di dalam lukisan miring itu. Hadir di saat yang sama. Memenuhi janjimu pada manusia, menebus janji alam pada manusia.
sepotong irama burung.
dan ayam menetas



Surakarta
27 Juli 2012


Hening Dinding


Hening



Kaca jendela
Dinding
Ruas ruang
Pedang

Madah pagi, hening
Malu

Dua orang saling pungung
Lelaki perempuan
Tercekik kesunyian saat memilih
Saat takut mati saat pulih
Setengah huruf telanjang


Sabda Huruf Kecil




Syahdan,


Seorang lelaki memeras kertas bertuliskan bulan
merah perawan

Seorang perempuan sibuk mencabuti kata-kata yang
menusuki
lidahnya.

Matanya penuh kata-kata
Subuh hanyut

Malam penuh batu-batu
Huruf kecil meminta jiwaku

2012

Perjumpaan





Telah kusebut dua nama
Setangkup mawar di taman laksa
Di lembah arden
Di jejak rimba

Aku mencarinya yang terbang bebas
Dalam mimpi hilang sorga
Bukan ampas sia-sia
Bukan hina perjumpaan kita

Bukan jalan lurus saja
Bukan pula aku merayu
Mukaku saja semerah bunga sepatu
Mataku saja sepedih sirih
Bukan diam dan senyummu
Bukan tatap mata itu
Bukan Aku tergoda gila
Bukan haru di hari ketiga

Hanya,
Sembuhkan aku dari keheningan yang membakar.
Ini tubuhku rubuh
Menggantung separuh


Jumat, September 2012

Senin, 15 Oktober 2012

Deretak


Deretak
Sartika Dian Nuraini

Senja pecah. Angin masih saja selembut kulit coklat asam yang terlipat di kelopak matamu. Aku ingin menjadi debu yang menempel disana. Meski aku hanya patung. Meski tak ingin terbius angin yang berpura-pura. Meski masih kuingat derut matamu dengan jelas. Gelombang tatapan itu menggeranyam-di dadaku, hingga aku gugup berkeringat.
Lemas.
Dari detas cahayamu, kulihat bulan patah. Aku adalah kepingan patung yang meminta sembah puji darimu. Meski kadang aku menjelma menjadi embun bening, biar mampu meresap dalam daun-daun keheningan tatapanmu itu. Dan kau kubiarkan jadi purnama yang meremangiku mengecamba.
Di masa itu, setiap manusia menjadi patung yang mengelana. Aku pun menjadi patung yang seringkali menukar-nukar senja seenaknya. Kupikir, tiada salah selama masih ada matahari yang berbeda-beda. Selama mendung berbeda-beda. Dan langit berbeda-beda. Selama aku masih ingin menyimpannya untukmu, patung kecilku. 
Langit yang berbeda-beda: "ini perempuankah aku?"
Langit yang berbeda-beda: Senja merah yang kujaga dalam deriji kecil itu.
Langit berbeda-beda.
Setiap kali saat senja belum genap setengah, selalu saja gelap membadai. Aku mulai merindukan keberadaanmu bila senja berlalu singkat. Selebihnya aku tak sungkan menukar bulan jadi setengah senja saja. Walau tak ada yang istimewa dariku. Sebuah patung kecil dari batu cadas tanpa gerat gerigi.
Aku terus mengelana. Menjadi patung kecil, memandangi pulau-pulau lain. Patung-patung lain. Dan cinta-cinta lain. Aku terus membayangi diriku dengan khusyuk satu tatapanmu itu. Kau tutup telingaku, kau tutup mataku, kau tutup segala yang mampu melihat keberadaanmu, saat itulah deruk bayang-bayangmu seakan nyata. Jarak terbang seperti debudebu. Aku semacam dihimpit cahaya dalam deretak ganjil yang serupa merah daun sumba.
Sore singgah. Beri aku lantai agar aku bisa menidurkan kakiku yang bergetar tiap kali kau singgah. Tapi mungkin aku hanyalah geranggang rapuh, yang menjadi benalu diri sendiri.
Aku masih menjadi patung kecil saat kau wujudkan hari-hariku dengan makhluk kecil yang berlari-lari kecil. Aku seperti diwarnai oleh kehadirannya yang masih kecil. Makhluk itu pemberianmu dan pemberianku. Kita berdua ada di dalamnya. Kita berikan dia nafas kita berdua, darah kita berdua, jantung kita berdua, lambung kita berdua, rambut kita berdua, tulang kita berdua, tangan kita berdua. Kita jadikan dia manusia seutuhnya. Mungkin karena kita jengah menjadi patung. Mungkin karena aku yang terlalu takut ia membatu, sepertiku dan sepertimu. Aku terlalu takut. Kita terlalu lelah menjadi patung.
 Aku pun jengah menata tatapanmu.


2012