Kamis, 18 Oktober 2012

Maha Matahari


Akulah bias pelangi yang bermukim di atas awan itu, dihimpit langit putih, terjepit dalam bebaris hujan berwarna perak yang sejuk dan silau. Akulah bias cahaya yang tak nyata, menebus segala yang hilang di antaramu. Namun ada, meski tiada.

Tubuhku yang indah, barisan warna kebisuan. Kau membingkaiku dalam satu pigura. Menaruhku dalam suatu lukisan abstrak. Menggantungku miring di sudut alam yang penuh misteri.

Melengkung, meliuk.

Membuai dirimu berjalan-jalan melihat bumi seisinya, jejak waktu seperti melontarkanku pada suara sunyi. Kulihat matamu menatapku dengan nafsu biru. Aku hanya bias cahaya, tak mungkin nyata. Dan aku akan hilang di antara embun-embun pagi setelah pagi merekam sepotong irama burung dan ayam menetas.

Mereka, mendekap.

Jelang lagi kau mencariku saat aku memudar. Kau melukisku dan ingin aku abadi dalam sekotak lukisan. Tapi aku bersegera, mungkin pergi mungkin kembali. Aku melebur bersama debu. Memudar bersama biru. Telah kau katakan warna yang kubawa hanyalah kesejenakan yang dibawa bersama angin sepoi, hangat dan lengket.

Kau mencariku. Kau takut memandang segala yang tak pernah akan abadi.

Menjelang, menepi

Kini kita tak mungkin mematung keabadian tolol, aku ingin ada. Kau ingin ada. Di dalamku. Di dalammu.

Saat biasku memudar, kau melukis senja menggantikan ruangku di dalam lukisan miring itu. Hadir di saat yang sama. Memenuhi janjimu pada manusia, menebus janji alam pada manusia.
sepotong irama burung.
dan ayam menetas



Surakarta
27 Juli 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar