Senin, 15 Oktober 2012

Deretak


Deretak
Sartika Dian Nuraini

Senja pecah. Angin masih saja selembut kulit coklat asam yang terlipat di kelopak matamu. Aku ingin menjadi debu yang menempel disana. Meski aku hanya patung. Meski tak ingin terbius angin yang berpura-pura. Meski masih kuingat derut matamu dengan jelas. Gelombang tatapan itu menggeranyam-di dadaku, hingga aku gugup berkeringat.
Lemas.
Dari detas cahayamu, kulihat bulan patah. Aku adalah kepingan patung yang meminta sembah puji darimu. Meski kadang aku menjelma menjadi embun bening, biar mampu meresap dalam daun-daun keheningan tatapanmu itu. Dan kau kubiarkan jadi purnama yang meremangiku mengecamba.
Di masa itu, setiap manusia menjadi patung yang mengelana. Aku pun menjadi patung yang seringkali menukar-nukar senja seenaknya. Kupikir, tiada salah selama masih ada matahari yang berbeda-beda. Selama mendung berbeda-beda. Dan langit berbeda-beda. Selama aku masih ingin menyimpannya untukmu, patung kecilku. 
Langit yang berbeda-beda: "ini perempuankah aku?"
Langit yang berbeda-beda: Senja merah yang kujaga dalam deriji kecil itu.
Langit berbeda-beda.
Setiap kali saat senja belum genap setengah, selalu saja gelap membadai. Aku mulai merindukan keberadaanmu bila senja berlalu singkat. Selebihnya aku tak sungkan menukar bulan jadi setengah senja saja. Walau tak ada yang istimewa dariku. Sebuah patung kecil dari batu cadas tanpa gerat gerigi.
Aku terus mengelana. Menjadi patung kecil, memandangi pulau-pulau lain. Patung-patung lain. Dan cinta-cinta lain. Aku terus membayangi diriku dengan khusyuk satu tatapanmu itu. Kau tutup telingaku, kau tutup mataku, kau tutup segala yang mampu melihat keberadaanmu, saat itulah deruk bayang-bayangmu seakan nyata. Jarak terbang seperti debudebu. Aku semacam dihimpit cahaya dalam deretak ganjil yang serupa merah daun sumba.
Sore singgah. Beri aku lantai agar aku bisa menidurkan kakiku yang bergetar tiap kali kau singgah. Tapi mungkin aku hanyalah geranggang rapuh, yang menjadi benalu diri sendiri.
Aku masih menjadi patung kecil saat kau wujudkan hari-hariku dengan makhluk kecil yang berlari-lari kecil. Aku seperti diwarnai oleh kehadirannya yang masih kecil. Makhluk itu pemberianmu dan pemberianku. Kita berdua ada di dalamnya. Kita berikan dia nafas kita berdua, darah kita berdua, jantung kita berdua, lambung kita berdua, rambut kita berdua, tulang kita berdua, tangan kita berdua. Kita jadikan dia manusia seutuhnya. Mungkin karena kita jengah menjadi patung. Mungkin karena aku yang terlalu takut ia membatu, sepertiku dan sepertimu. Aku terlalu takut. Kita terlalu lelah menjadi patung.
 Aku pun jengah menata tatapanmu.


2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar