Senin, 04 Februari 2013

Pikiran yang Berjiwa dan Jiwa yang Berpikir


Sebuah pengakuan kebahagiaan.
Afrizal Malna. Penyair yang menulis sajak-sajak dalam tempurung kepalanya.
Sartika Dian Nuraini. Penyair yang menulis sajak-sajak dalam tempurung jiwanya.


Rewind. Aku ingin membeberkan perihal pertemuan Afrizal dan Aku, sebuah pertemuan yang membatalkan aku untuk/ke aku yang lain. Sebuah pertemuan yang mengijinkan aku merevisi aku yang lain. Repair. Sebuah pertemuan yang mengijinkan setiap biji-biji bahasa berjatuhan mengisi tubuh bahasa yang lain. Inilah, pertemuan kami berdua. Reset.


Aku dan Afrizal bertemu dalam kondisi jiwa yang melayang-layang dan tak berpijak. Pikiran yang belum menemukan bentuknya, oleh aku. Dan jiwa yang belum menemukan bentuknya, oleh Afrizal. Semua berkumpul dalam satu aliran. Memberikan keutuhan aku untuk ketakutuhan aku. Sebuah pertemuan dalam ikatan yang sakral, tanpa keegoisan dan tanpa penguasaan. Berjalan di antara kulturnya dan naturnya yang bergerak terus, seraya mengurai dan menyibak misteri akunya dan akuku. Memberikan keindahan pada setiap peristiwa yang menaunginya.


Pertautan ini telah membongkar-rangkai sejarah tubuh kami, telah menjahit-tambal semua yang bolong di baju-baju yang kami kenakan. 7 Januari 2013. Terjadilah sebuah peristiwa sakral itu. Peristiwa yang telah mengikat kami ke dalam sebuah cincin. Dan cincin itu menjadikan aku dan aku yang lain merekat dalam satu lingkaran tak kosong. Sebuah lingkaran yang bernama Kita.


Segala tentangnya membuatku takluk dalam kekagumanku. Segala tentangku membuatnya takluk di dalam dan di luar kesunyiannya. Kami berdua saling menciptakan dalam kekaguman kami. Dan semua terjadi dalam proses di mana semesta mengirimkan hujannya setiap hari, sehingga kami saling mengadu pada hujan.


Afrizal: “Hujan, aku kepingin lepas dari rantai-rantai masalaluku. Aku ingin mengambil kehidupanku kembali. Aku ingin keluar dari yang membuatku tenggelam. Kalau kamu mendengarku, aku ingin mengambil hidupku yang baru bersama istri dan sekaligus kekasihku, Dian. Lalu keluar beberapa titik air dari mataku. 
Dan aku mulai menadahi air hujan, merasakan air yang jatuh jauh dari sana. Yang tubuhku sendiri tak bisa menjangkaunya. Air yang hujan di telapak tanganku itu, kemudian kubasuhkan ke wajahku. Lalu istriku datang, ikut mengadu pada hujan. Aku memeluk tubuhnya yang membuat jiwaku seperti bernafas kembali.”


Dian: “Hujan, kebahagiaan macam apa ini semua? Katakan padaku, bingkai seperti apa yang mampu membingkai kebahagiaan yang tiba-tiba jatuh dalam pelukanku ini.”


Kami berdua terdiam lama. Saling tenggelam dalam pelukan dan ciuman kami.

Demikian dariku, sebuah pembeberan atas pelebaran kebahagiaanku dan Afrizal Malna. Pelebaran gelombang yang dipertemukan semesta dalam hujan dan batu-batu.






Salamku,

Sartika Dian Nuraini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar