Selasa, 06 November 2012

Kota Kunang Kunang


Siang mencekam. Angin laut masih menggaruk pepohon kelapa. Kapal-kapal berteduh di balik pohon-pohon itu, menunggu saat mereka berlayar. Mengombak di hamparan laut kebiru-biruan. Arak-arakan awan menggelayut gelap.

Aku masih terkunci pada gua-gua gunung di atas pantai itu. Akulah satu-satunya kunang-kunang yang ada. Di pantai antah-berantah yang dihuni oleh beberapa manusia saja. Beberapa gubuk saja. Dan beberapa kapal saja. Aku terdiam, mendekam dalam rumput-rumput hijau di ceruk liang tebing yang begitu kecil. Tak menyala. Seperti hampa. Aku menunggu malam hadir dalam balutan angin laut yang dingin.

Aku menunggu dengan santai. Air embun mendaras dan mengering dalam dahan-dahan rumput yang bergoyang-goyang. Laut menghitam dan mendebu, senja jatuh di atasnya. Mendetas. Sebentar-sebentar, cahaya itu meruak dalan tubuh laut hingga terlihat seperti warna darah. Sebentar-sebentar cahaya itu memberi warna coklat matang yang begitu kental dan kelam. Sebentar-sebentar terlihat riak-riak putih gelombang sungguh ketara.

Aku masih menunggu dengan termangu. Laut dan warna tembaganya yang selalu diliputi silau bila cahaya bulan meremanginya. Di sanalah kegelisahanku akan berakhir. Di titik matahari terakhir. Saat semua manusia itu pulang dan melesap pada tidurnya masing-masing, dengan lampu-lampu temaram yang menghujung pada cahaya-cahaya redam laut. Cahaya yang remang dan teduh.

Di situlah aku tinggal. Di kota berterumbu karang yang begitu kecil. Terlalu kecil untuk laut, yang siap menenggelamkannya saat putaran bumi menguat pada porosnya. Sebuah pulau itu ku beri nama, Kota kunang-kunang.

Malam yang temaram berbalut senja merah kecil yang sederhana. Saat itu aku telah mempersiapkan segalanya untuk bersinar. Berpendar-pendar. Terbang ke alam malam yang bebas. Selepas samudra mengabu itu. Aku mengitari kota kunang-kunang, menjadi cahaya kecil bagi tubuh tebing yang tinggi, berdetak-detik, mati, hidup, mati, hidup. Menarikan cahaya yang telah diberikan alam padaku. Yang telah menciptaku sedemikian adanya. Untuk terus terbang dan berpendar sesuai irama debur laut.

Di saat itulah, aku seakan ingin berteriak pada laut. “Ini cahayaku!” Sebuah teriakan yang begitu bebas tanpa kehadiran cahaya lain. Inilah suatu pembebasan yang kuterima dari alam malam. Bukan siang yang hanya akan membuatku mati. Mati ketakutan di dalam cahayanya yang begitu silau. Aku sadar, hanya malam yang membuatku terbang tanpa rasa takut, dan hanya malam yang membuatku menjadi diriku sendiri. Cahayaku adalah keajaiban yang diberikan malam.

Malam ini pun terasa begitu adanya. Aku menikmati diriku sendiri dan memandang segala tentang pulau kecil ini. Aku memulai tur-tur kecil dan mencoba memahami segalanya tentang dunia kecil yang aku tinggali ini. Sebuah dunia yang nampaknya hanya aku yang mengerti. Aku tak hendak sombong dan merasa bahagia dengan segala yang kuterima dan yang telah ada bersamaku. Karena sekali lagi, aku hanyalah kunang-kunang.

Apa yang kau harap dari seekor kunang-kunang? Ia hanya akan menjadi pengantin malam yang paling setia. Ia ada dalam kegelapan total malam. Ia hanyalah nasib yang terselip. Yang tak pernah mampu, dengan segala keindahannya bahkan, melihat bayang-bayangnya sendiri. Dan di kota ini ia hidup, ia sendiri. Selalu sendiri.
***

Pernah sekali waktu kesepian. Dan kala itu aku hanya mencoba mencari teman-teman terumbu karang yang ramai. Tetapi mereka hidup di alam yang tak sama denganku yang jaraknya begitu jauh dari tebing yang ku tinggali ini. Aku tak bisa menyambangi mereka sesering yang kuingin, hanya bisa berbicara seadanya. Membagi keluh kesahku tentang manusia dan peradabannya. Tentang cinta. Tentang kerja. Tentang waktu. Atau tentang hal-hal kecil yang bahkan aku sendiri tak begitu tahu apa definisinya.

Malam ini, saat aku keluar dari persembunyianku, secara tiba-tiba aku ingin sekali menjumpai terumbu karang. Sayapku bisa membawaku kesana. Ah, tapi apakah itu penting? Aku terkadang heran. Apa pentingnya mencari sesuatu yang lain yang terlihat sangat peduli pada kita padahal kita tak pernah tahu apa yang mereka ingini. Apa tendensi mereka dekat dengan kita? Apa yang akan mereka lakukan terhadap kita? Tetapi, begitulah manusia yang selalu tak memberontak dari kodratnya untuk bersendiri. Mungkin agar segalanya terlihat lebih indah, dengan berbagi atau dengan tertawa dan menangis bersama, mungkin. Maka dari itulah, ku putuskan mengunjungi terumbu karang sekarang. Malam ini juga.

Meski bergegas, aku selalu melihat segala yang ada di depanku. Terkadang harus berhenti sejenak. Menikmati suara alam atau sekadar canda tawa anak-anak kecil yang riang gembira memiliki waktu bersama orang-tua mereka. Di saat seperti itu aku mulai merasa demikian sepi. Aku terlahir tanpa ayah maupun ibu. Mereka semua pergi meninggalkanku. Pergi. Tinggal aku saja. Sendirian saja.

Terkadang dalam pemberentian itu aku menangis dengan getar dan garis muka yang memelas. Mengingat bagaimana aku bisa hidup hingga saat ini. Menjalani kehidupan sendiri. Ku pikir, menjadi kunang-kunang yang hidup bersendiri itu bukanlah suatu keberuntungan. Takdir alam tak memihak padaku. Untung saja masih ada malam, yang selalu menerima betapapun kecil cahaya yang ku pendarkan. Hanya malam yang mengertiku. Apa adanya aku.

Aku mulai terbenam dalam tawa anak-anak pantai yang terdengar begitu lepas. Bercanda dengan orang-tua mereka. Tawa itu terdengar menggema, diiringi intonasi sopran nyanyian burung pantai dengan gemuruhnya yang menyayat. Begitu bising tetapi sekali saja mendengarnya, aku tak akan berhenti mengingat. Nada-nada itu terus kubawa. Karena untuk memendarkan cahaya-cahayaku rasa-rasanya aku harus mengingat nada-nada keras itu. Terus. Energinya terasa begitu padat dan pekat. Aku tersesak. Aku bangkit dan terbang kembali.

Aku bertemu juga dengan sekumpulan kembara kuda laut dan ikan-ikan kecil. Seringkali aku berlama-lama disana. Sekadar bercanda tawa. Bagiku menjadi sahabat hewan-hewan laut itu, seperti anugrah yang terindah, yang mungkin akan kuingat sepanjang masa. Mungkin saat nanti mereka semua sudah memiliki keturunan, aku akan bisa menyambanginya dengan senyum kecil dan menangis haru tanpa airmata. Karena aku yakin saat itu pastilah airmataku sudah mengering.

Hewan-hewan kecil itu, dengan keluguan mereka, membuatku dapat menikmati kepak sayapku. Aku tahu, mereka juga selalu terbang melayang, tetapi tak sebebas seperti aku. Mereka semua hanya bisa melayang dalam ruang kecil mereka, dan tidak sepertiku, terbang bebas sesukaku di alam raya Kota Kunang-kunang ini. Alam yang sesungguhnya. Walaupun alam, terkadang memberi kalibut berhari-hari. Biasanya aku selalu berusaha terus kepakkan sayap, walau tak selamanya bisa menyambangi terumbu karang.

Terkadang pula, aku bertemu dengan si kura-kura tua yang kalau berjalan selalu membungkukkan kepala, yang selalu saja merasa bijaksana tetapi tak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri. Selalu berlindung dalam cangkangnya sendiri. Ya, sama saja seperti siput atau terompak. Hanya saja, mereka didewakan dan dituakan di laut lepas itu. Maka seakan mereka memiliki kekuasaan atas hewan-hewan kecil yang sebenarnya selalu tertawa kecut melihat mereka. Ah, koloni kecil di pantai.
***

Sampailah aku pada terumbu karang yang ternyata telah menungguku. Kabar tentang kedatanganku ternyata sudah tercium sebelum aku benar-benar ada di hadapan mereka. Ketika aku datang, mereka menyambutku dengan berisik. Lalu biasanya kami mulai bercakap-cakap.

“Aku datang.”

“Wah kebetulan saja, kami telah menyiapkan kepadamu satu bungkus rumput purba laut dan alkohol untuk kau minum malam ini.”

“ah aku tidak bisa menerimanya.”

“oh ya? Kalau begitu cobalah alkohol yang memabukkan ini. Kau akan merasakan betapa indah dunia yang sedang kau tinggali.”

“Aku juga tidak minum alkohol.”

“Itu bukan suatu hal yang indah di dengar. Kau tidak minum alkohol? Ayolah sekali saja coba. Kau akan merasa betul-betul hidup.”

“tidak. aku tidak bisa mencobanya.”

“kau tidak tahu betapa enaknya ini semua. Atau akan kusuguhi kau satu tontonan yang kubawa dari seberang laut sana, seorang gadis laut kecil, yang masih perawan, untuk menemanimu bermalam-malam tinggal di rumah kami.”

“ah aku juga tak begitu tertarik dengan gadis-gadis dan ikan laut.”

“Lalu apa yang kau inginkan dari kami untuk kami suguhi? Ketahuilah, kau telah jauh-jauh datang ke sini. Dan kami tidak akan membiarkanmu berdiam dan tak menikmati apa-apa dari dunia laut kami yang begitu sorgawi ini.”

“Tidak. Tidak perlu repot. Aku bisa mengatasi apapun. Aku hanya ingin melihat kalian, menjalani kehidupan. Karena dengan begitu aku merasa bisa menjedakan diri dari segala kalibut di Kota Kunang-kunang.”

“Katakanlah, jangan basa-basi. Apa yang sesungguhnya kau cari disini? Agar kami bisa membantumu menemukan apa yang kau cari. Mungkin sesuatu yang tak biasa? Apapun. Katakanlah.”

“aku tak mencari apa-apa dan tak ingin mendapatkan apa-apa darimu. Aku hanya ingin bertemu.”

“Kami belum sepenuhnya mengerti keinginanmu datang. Tidak seperti kebanyakan orang yang datang kemari, kebanyakan dari mereka menginginkan sesuatu dari kami. Dan kau? Baru beberapa kali datang tetapi tak pernah meminta apapun.”

“Hahahaha.” Aku tertawa keras dan kali ini susah untuk ku tahan.

“Mengapa kau tertawa?”

“Maaf. Maaf aku tidak bisa menahan betapa lucunya mereka yang datang untuk meminta-minta padamu. Kau pikir aku seperti itu? Ah Maaf, aku tak seperti itu.”

“Kecuali ada yang kau ingin pertukarkan?”

“Ya. Itu mungkin.”

“Lalu apa yang bisa kau berikan pada kami?”

“apa yang kau minta dari seekor kunang-kunang kecil yang kesepian ini? Yang bahkan tak mampu melihat sendiri bayangannya?”

“Ketakutanmu.”

“Apa?”

“Ya. Kami meminta ketakutanmu.”

“Aku tak punya.”

“Kau pasti punya.”

“Aku tak punya.”

“Tidak, kau bohong. Kau pasti punya ketakutan sehingga membuatmu datang kemari.”

“Aku.....Ah.” Aku terdiam sungguh lama sebelum melanjutkannya. “Aku hanya...hanya ah aku tak bisa mengatakannya padamu. Kau pasti akan menertawakanku.”

“Kami berjanji akan menjaga rahasiamu.”

“Aku takut pada....” Sekali lagi aku terdiam begitu lama. Tiba-tiba lidah ini panas dan pedas.

“katakanlah...Supaya kami bisa membantumu keluar dari ketakutanmu itu.”

“Aku takut pada matahari.” Akhirnya aku dapat mengungkapkannya pada mereka.  Walau ada sedikit keraguan. Banyak orang bilang, terumbu karang itu selalu pandai bergosip. Menular-nularkan suatu berita tanpa tahu bagaimana perasaan orang yang selalu rapat menjaganya. Orang bilang, ketika satu berita itu sudah terdengar oleh telinga gerombolan terumbu karang, maka habislah berita itu. Ia akan menyebar-nyebar ke seluruh penjuru lautan. Bahkan bisa sampai ke langit, tempat air-air laut itu menguap. Ah, semoga aku tak menyesal menceritakan ketakutanku itu pada terumbu karang. Semoga saja ia menghargai  rahasiaku, dan melindunginya dengan segenap hatinya. Semoga saja.

“Baiklah kami akan menolongmu.”

“Dengan cara apa kau akan menolongku? Aku sendiri tak bisa menemukan cara agar aku tak ketakutan pada matahari. Sehingga yang kulakukan hanyalah bersembunyi, untuk menyelamatkan cahaya kecilku ini. Yang bagiku terlalu suci bila kurelakan untuk terbenam cahaya jahat itu.”

“kami akan menolongmu, tenang saja. Dengan cara kami sendiri. Tenang saja.”

“Ah, sudahlah terumbu. Aku hanya ingin istirahat sejenak dari persembunyianku terhadap cahaya siang yang panas itu. Setidaknya masih ada malam yang selalu melindungiku.”

“Tenanglah. Kami pasti bisa menyelamatkanmu.”

“Sudahlah Terumbu! Sudah! Biar waktu yang melindungiku! Karena memang hanya waktu yang bisa melindungiku. Bukan engkau, atau laut, atau Kota kunang-kunang. Tidak ada yang mampu menolongku kecuali waktu. Waktu selalu adil, aku percaya. Dan dialah malam yang adalah waktuku. Malam adalah satu-satunya penyelamatku.”

“...........”

Kami berdua terdiam. Lama.

“Baiklah aku pamit dulu. Dan aku hanya ingin tahu, apakah kau mampu bersetia menjaga setiap rahasia yang ku ceriterakan padamu. Hanya itu yang aku inginkan. Kau mendengarku dan kau dapat ku percaya. Aku pamit. Sepertinya aku terlalu lelah, mungkin karena aku dipaksa mengungkapkan satu rahasia dari hatiku. Kau membuatku sungguh-sungguh lelah.”

“Baiklah. Pulanglah dengan hati-hati. Meski mungkin kau mendapati semua makhluk di Kota kunang-kunang ini sudah tertidur dan bermimpi dalam sejarahnya masing-masing.”

“Selamat tinggal.”

“Selamat jalan.”

Aku berdiri berbalik, memunggungi para terumbu dan berjalan terus ke depan. Pulang. Dan benar adanya, semua makhluk tampak lengah dalam tidur mereka yang lemah. Aku yang kini berbalut luka. Menunggu malam berakhir sembari menari-narikan cahayaku yang semakin redup.

Aku masih yakin rahasia itu terjaga. Dan tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.



Surakarta,
6 Nopember 2012


*cerpen ini ingin kupersembahkan kepada temanku Dida Aruming Dyah sebagai hadiah pernikahannya pada 10 Nopember nanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar