Ibuku dan Ibumu
Air dan hujan, siapa kalian? ibuku, atau ibumu?
Ataukah ibu yang lain yang diam sementara debu berterbangan dan menempel dirimbunnya pepohonan
Langit yang diatasnya ada pendar-pendar bintang seribu kejora, kaliankah ibuku atau ibumu yang turut melangkah bersama pendulum bisu dan berdetak-detik
Pasir putih dan segala gejolak didalamnya,adalah klimaks dalam film dan gambar-gambar kosong
Gelombangnya membawaku masuk dalam ketiadaan
Semalam entah kenapa ada mimpi yang kosong berbicara tentangmu. tak ada klimaks. yang ada hanya samar-samar yang memayakan tubuhmu dan punting bergoyang-goyang.
Suatu hari ada pualam yang retak diantara kakiku dan kakimu.
Kita menikmati malam pukah berdua.
Ibuku patah.
Ibumu ternyata juga.
Surakarta, 25 november 2010
Sartika Dian Nuraini
The Voice of a Hole
Months, Hours, Minutes, Bodies, and Holes
One of them, waiting the death coming
Two of the holes, waiting for the dawn
Three of em, sails to the emptiness of the sky
My holes, crawling on the dirty walls
dive in the old huts thatched
Five of them are still silent
waiting for the rain
waiting for the rain
There were two eyes looking at me, spying
burried on my face, burried on my heart
Put his fingers through his hard tip
burried on my face, burried on my heart
Put his fingers through his hard tip
So I'm silent
Months
Half moon covered the flowers in the sky
and fragile space in my heart, die
closing down
I was alone
Rather I want to unify
following months of embarrassment.
Months
Half moon covered the flowers in the sky
and fragile space in my heart, die
closing down
I was alone
Rather I want to unify
following months of embarrassment.
And spies that dumb.
Knocked! (1)
She knocked off the poem with the greatest of ease in short of time
He knocked three bottles of beers in the space of ten minutes
And This news knock me back a bit,
Doesn’t it?
What knocks me is his impudence
When I realize the three young student girls were knocking around outside the cinema where the incident occured.
He knocks his about a bit.
And the harvest was badly knocked about by that freak strom
And the slum property has been evacuated
It will be knocked down
And it will be replaced by modern blocks of flats.
My brother has just knocked someone in the street of Oolalah
He is the only man who knocked a man with an empty pocket and no money inside
He is the only knocked man.
But he knocked back, and the money came out, My brother has the money
And he is knocked, what a pity.
The fight ended in a knock-out victory for the challenger
Because the soldier knocked out two enemy tanks with his bazooka
Oh, what a pity.
Surakarta,
25 Januari 2010
Sartika Dian Nuraini
Knocked! (2)
Then I knock him out, I know
I am sorry, the hut looked as if it had been knocked by someone in a great hurry.
Then I saw, two pieces of wood outside the hut knocked their heads together
Why ever did she let him knock her out?
I don’t know.
Hey dude, would you mind knocking me up at about 7 o’clock tomorrow
As I must catch the early train to Solo?
I am a marvel you know.
At knocking up a meal for unexpected guest you bring and I dont know.
Tulkiyem is a regular knocked out!
You must see it though.
For a moment I was completely knocked out by the news of her pregnant
And It was some time before I could convince my self that it had really happened.
That I don’t know.
Surakarta,
21 November 2010
Sartika Dian Nuraini
Terima
Sajak picisan untuk Marketta Irglova
tak lagi benderang layaknya suaramu
Sajak seperti baju tanpa kantong
Ada besok yang tak kita mengerti,
Apakah jejak sakit masih menunggumu?
Akhiri waktu di pelabuhan
dermaga tlah terbungkus kabut
karena tak mengerti yang terucap
mengucap renta
pagi lelah, kau temukan di bawah jendela,
Sepucuk senyum, senyum mengembang
Terima ia, bunga
kebisuan antaramu, membisukanku,
membisukan dunia
Aku mengartikan lagumu dengan secarik tangisan
Yang jatuh tak berbait
Mungkinkah maknanya: Kau bunga, impian, dan cinta
Ada bagian di hari lain untuk bertemu
pada ujung siang
Bukan menunggu
burung-burung perkutut
Yang pulang,
menghilang di kantung langit
Datang padanya, seperti roda-roda
yang dipacu para pengikut Musa
Kerna ia menunggu
Angka Pisah. Bulat
5 hari 5 Menit
Angka 5
25 dan 11
Angka satu dan angka dua
Angka kecil dan besar
Angka merayapi Sejarah diri
Angka mati
Tegak berdiri
Kaku, menakut-nakuti
Pengajaran
Ada cincin sepi
Merindu madah siang
mengeluarkan embun
tubuh
sang renta Katanya,
aku mursal
Aku diberi surat Amsal
Di balut cemburu
cincin itu
Bukan dunia Kosong!
Perempuan Sesal: Nol
Bulan jatuh
menabrak bumi, limbung disusun api
Semalam, ada
setumpuk sakit
Yang digendong
seorang perempuan
di barak kata
Ada selasar sesal
Menangis,
Sayap kanan yang hilang
Ia, perempuan,
kunang-kunang
kedinginan
Masih dapat
jatah kehidupan
Perempuan kata,
Perempuan rupa
Nol
Pengembara Pagi: Untukku
“Kau mampu Menepis hari hanya karena redupku?”
Bangkit, hai pengembara pagi
Jangan takut siang menyingsing
Jalan masih bisu, celana
dan kain lembut
seduhan kopi
panas
terhidang
matamu
Jangan
takut lelah, meradang
Ibu juga belum pulang.
Ayah tak juga datang.
Maka,
aku yang mencuri seduhan hari
Bohf... Bohf
Wajahmu jadi sejarah
Darah di bajumu terisi penuh
Dalam garis rupa
Dua garis terakhir, menghimpitku, menjeratku
Coba, menyalak saja
Bohf, Bohf
Mirip anjing jantan yang lagi makan
Ikan-ikan mati
Ini sifat sunyi
Ladang kebenaran yang dikubur
Suara mayat payudara
Kau tinggal aku di pekuburan tua
Kau bungkus aku dengan kain merah tua
Kau ludahi, mati
Tabir Pongah
Sebelum dan sesudah menunggang onta putih itu
Nabi berkata pada senja yang bertabir bisu, “aku mencintaimu”
Kemudian ia mengambil sepotong kayu
dan memeluk senja sembari
memotong kakinya sendiri
karena menyesal tak bisa
memberikan harta yang lain
selain sepotong kaki itu.
Onta marah-marah pada
nabi yang suci dan hampir mati
Tapi tidak di sini.
Nabi telah mati di tubir siang
Menunggu syurga menjemput
Kemarau
Aku terpukau pada kemarau
Yang memanggil pulang seorang renta dengan kayu bakarnya
Ia menyurut, menyusut di balik jemari
Dan terkatalah, sumpah itu
Sumpah kering
Mosaic of a Child
I've just cut off the body of a child
Who dig the ground, incubating time
Chopped into small pockets
I've just cut off the body of a child
Who dig the ground, incubating time
Chopped into small pockets
Dumped in the crying rosary
Left and abandoned his god-to-be.
The boy,
It all became trash
Left and abandoned his god-to-be.
The boy,
It all became trash
discarded on the streets
dead end and never be picked
raised, maintained
raised, maintained
sold to humans who do not have the heart
There was an old man, cut with a pumice stone soul
The old man was robbed
Children's roar
Like insects in a silent cry
Shut up in tears
There is a passage that gave him strength: Martyria
From the sound of bells and suffering
He never complained
Who never embarrassed his fingers hit
that always stuck in a rocky face
One day the child died
And live again, see heaven, cant be back
There was an old man, cut with a pumice stone soul
The old man was robbed
Children's roar
Like insects in a silent cry
Shut up in tears
There is a passage that gave him strength: Martyria
From the sound of bells and suffering
He never complained
Who never embarrassed his fingers hit
that always stuck in a rocky face
One day the child died
And live again, see heaven, cant be back
he conserved
world,
child and his country
world,
child and his country
secret and body
He, and the world
Not of a companion, not of a champion
He, and the world
Not of a companion, not of a champion
Aku Ingat Senja
Dan kuingat senja lusa hari begitu menawan,
kaper bermain musik, mengejek orang-orang musyrik
lukisan Dali masih mabuk di kursi
aku sepi
kau tanam sebuah makam
dalam matamu dengan sebuah lukisan mabuk
yang dulu berjalan terhuyung lewat daku yang sibuk
mendulang garam
di pematang panjang saat hujan yang sakit
jatuh tertelan nisan yang terlambat tanam itu,
ada kayu ranum yang kulitnya mengering, saat hujan jatuh masih sakit
Lalu kau pindahkan tubuhku, yang lusuh ke sebuah rakit
Untuk melepas kabut
Kerna takdir hanya sempat mengucap kalut
kupindahkan mata, kupindahkan telingamu
ke tempat yang kau tak mengerti, di sebuah lukisan
tapi Lukisan mabuk itu diam di sudut pintu, ngambek menungguku
yang masih punya jantung, bertatap dengan bulan
di Dua nisan,
aku mengenang
Lima bocah yang merobek lukisan
bergambar ayam mengais tanah harapan
Barangkali Tuhan mengutuk kita
Yang tak tahu mengapa bulan masih membual pada dunia
Eksotopi Tubuh
Tak ada lagi
hari tanpa mencemburui
kembang layu tak bersekam
dan daun-daun layu membusuk,
Dekat gelombang sungai menguning
yang masih menghabisi matari,
sungai tak lagi tahu pantulan silaunya,
semacam kilat tak berwarna
“Apakah, masih ada bir dan ikan yang terhidang untukku?”
Karna ternyata bukan bulan yang menyemai teduhnya malam
Karna ciumanmu telah mencuri sepucuk surat
yang kau tinggalkan di bait pintu, di sela lemari buku
sepucuk wajah daun jatuh
memandangi kita di penghulu waktu
Saat bergeming dalam gelimang ruang bisu
Surat itu tanya
Atau jawab atas segala kebisuan yang tak peka pada pelupuk tubuh kita
Yang hanya ku sebut dalam hati
Yang kita ingkari sendiri
Di pungkasan siang, saat sepi menikam,
Kita masih menenggak bir dan memangsa ikan
Dan ladang masih bertanam tanpa mata
Bait Jembatan
Kokoh tatapku mengulas tubuhmu
merekat erat pada gerbong kereta
Saat pikatmu jatuh berdebam di kakiku,
Tanganku seraya menjadi jembatan kebohongan yang bermukim di tanganmu
Selalu ku menyulang gembira
Menyalib suara taat dan takut yang tiada henti kuberikan
Andai, sepasang angsa di bawah rembulan bercahaya remang-remang
Menjalin cinta, menangkap ikan, dan meretas lega bersama malam purnama
Tak lagi mengirimi semboja keindahan
untuk hantu-hantu penghuni abad terakhir
Aku kan kembali meringkuk di balik surat,
di balik janji,
di balik ratapan
Menanti
Seperti empu, kau selalu menggenggam pagi
Tapi kau tak serupa Zeus atau Kristus,
kau tak berani membunuh siang
kau merengkuh manusia yang berlari mengejek waktu
yang masuk berjejalan dalam gerbong kereta
Dan jembatan yang kita lalui tadi,
Menggumamkan jeda pada hari yang telah hilang
Tubuh Tuhan
Untuk Chairil Anwar
Masih kupikirkan tekstur Tuhan,
menitip salib di tubuhku
Masih kupikirkan, jemari mengusap mataku
menangis memanggul,
“mengucur darah
mengucur darah”
menjerang iba
aku melihat
tubuh setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar