Surat dan
Puisi yang Ku Injak
Untuk: Afrizal Malna
Afrizal Malna,
Aku Sartika Dian Nuraini.
Panggil saja aku dengan nama tengahku. Sejak usia 9 tahun, aku selalu membawa
koleksi buku puisi Ibuku kemanapun. Ibuku mengagumi Chairil Anwar.
Dongeng-dongeng yang dibacakannya bukan Cinderella atau cerita Rajamala.
Ibu mendongengi puisi untukku setiap malam. Puisi itu dongengan Ibu.
Tapi ada masa kelam. Bagiku, puisi justru
menjauhkanku dengan Ibu. Aku cemburu. Cemburu pada puisi, karena Ibu selalu
tampak lebih menyayangi puisi ketimbang aku, Maka, puisi adalah makhluk yang
kubenci, seutuh-utuhnya. Aku tak mau dekat-dekat dengannya. Puisi adalah mara
bahaya.
***
Teringat sebelumnya, satu
masa. Power-rangers masih berkuasa.
Siluman ular putih dan maklampir tenar juga.
Suatu hari, siang tak begitu terang, sepulang sekolah. 1998. Bu Guru
membekaliku sepucuk surat yang dibungkus dengan sekantong plastik berisi satu
pak pensil warna dan satu lembar kertas. Bu Guru menyuruhku memberikan
bungkusan plastik itu pada Ibu di rumah. Aku pulang dengan gemetar, menggenggam
plastik hitam.
Dengan gelagat lugu, mata
yang bulat dan begitu ingin tahu, di jalan aku membuka surat. Aku harus
berjalan pelan-pelan. Aku bisa membaca walau masih tersendat dan mengeja. Di
surat itu tertulis dengan rapi huruf bersambung,
Untuk bu Suprapti,
Di tempat.
Dengan hormat,
Kami memberitahukan bahwa anak Ibu
terpilih untuk mengikuti “LOMBA PUISI antar SD Se-Kecamatan Sidoarjo” yang
akan dilaksanakan pada 17 mei nanti. Untuk itu mohon bantuan Ibu untuk
membimbing Sartika.
Salam hangat.
Sundari
|
Ku ulangi membacanya. Aku
terpilih untuk puisi? Ah kenapa aku? Puisi begitu kubenci.
Panas matahari tak begitu
menyengat tapi tubuhku bersimbah keringat. Aku melanjutkan langkah tak goyah.
Ku lipat surat, kumasukkan lagi ke dalam amplop, lalu berjalan sejenak. Lalu
berhenti, berdiri tak tegak. Bu Sundari tampaknya salah telah memilihku. Aku
melongok ke amplop coklat buram itu lagi. Ibuku tak perlu tahu, pikirku. Aku
mau menyobek surat itu. Mau menyobek surat itu!
Siang yang merana. Sepucuk
surat kupandangi lama-lama. Aku melihat ke atas langit. Aku melihat pohon-pohon
yang begitu tinggi di mataku. Dan begitu tinggi juga kulihat langit itu. Langit
begitu curam dari bawah. Aku menunduk, melihat sepatu boots hitam yang tak
kalah kumal dengan seragam merah-putih yang kukenakan. Di sepatu itu, ada tanda
satu kegilaan: bocah kecil yang selalu main bledukan.
Warna hitam tak hitam lagi. Penuh debu dan goresan benda-benda lain yang
ditabrakinya, yang disandunginya, dan yang diinjakinya. Sepatu itu lincah tapi
bersalah. Sepatu itu salah telah mengantarku ke sekolah.
Sekarang, bagaimanapun aku
harus menghadapi sepucuk surat yang dikirim bu Sundari kepada Ibuku. Surat itu
kujatuhkan. Kuinjak dengan sepatu boots yang membawaku ke sekolah setiap hari
itu. Puisi juga kuinjak dengan sepatu boots yang tak hitam. Kuinjak dengan penuh
dendam.
Surat itu berisi pengharapan
bu Sundari... Aku masih membenci puisi, hingga kini. Aku membisu. Ibuku tak
pernah tahu. Afrizal Malna, jika aku berdosa karena berbohong dan
menginjak-injak puisi dan pengharapan bu Sundari dengan sepatuku, aku ingin
menebus dosa itu.
Puisi menghantui. Masa
kecil begitu suram. Puisi itu soliloquy. Bantu aku memisahkan diri dari mimpi
buruk puisi. Semoga kau mau membimbingku, menggantikan tugas ibuku.
Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar