:Fanny Chotimah
Malam Solomio. Seorang perempuan dengan baju hitam. Sebuah
hubungan Sisterhood dari
sungai-sungai bahasa. Idealisme perempuan itu. Yang menjahitkan aku sebuah baju
berbahan Vintage. Biola di tubuhnya. Idealisme
yang menggantungku di bawah payung pemberadaban manusia. Sebutir kapas menempel
di lehernya yang jenjang. Diam dalam terowongan panjang. Cinta dalam selubung
rokok kretek, dua cangkir kopi, dan sebuah percakapan. Tiga dengan selubung asap
yang sama.
“Aku lahir di dalam kultur.” Kataku. Ia tersenyum.
Ia menggandengku dan menuntunku di atas matanya yang biru.
Ide-ide terbakar. Rumah di atas spaghetti dan dua gelas tarian tangan. Dua
angsa yang kulihat itu, dua angsa yang berteriak itu. Aku layu di dalamnya. Telapak
kakinya bersama seekor burung perempuan sehabis terjal di jalan berbatu. Aku
mengelus mimpiku.
Ia menciumku dengan dinginnya. Aku telah menjadi waktu yang
meleleh di dalam kain hitamnya.
Sebuah sepeda dan becak yang mematung di depan kami.
Berhenti dalam halte yang telah kami lukis sebelumnya. Halte demi halte,
menjadi percakapan film dan sastra. Aku telah menukar cincin dengan ide.
Menukar cincin dengan cinta yang lepas di matanya. Saat dan saat. Butir-butir
gerak. Aku rikuh. Ia melepasku. Memberikan aku sebuah pelukan. Di dalam
senyumannya, aku telah mati dalam perburuan.
Aku melihat laut dan angin. Seperti akar yang wangi, yang
kupijak dan kubenangi dengan tisu-tisu bekas darahku. Tanda di atas tanda. Aku
berhenti masuk ke dalam matanya. Diam telah meledakkan diriku. Aku terlalu malu
dalam nyanyian Adele. Labil dalam
labirin yang ia ciptakan. Alam telah menggandakan aku. Menuju yang ia pijak di
kakinya.
Kaukah itu? Angsa yang indah dalam mata biru. Waktu telah
membelah segalanya. Waktu telah membagi segalanya. Sungai tetap mengalir pada
jalannya. Awan tetap menari di punggung kepala kita. Siapa aku? Bayi berekor
burung. Dan segala yang aku cipta, seperti kendaraan tolol yang tak dapat
menjengukmu di halte ujung sana.
Sartika Dian Nuraini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar