Pikiran yang
Berjiwa dan Jiwa yang Berpikir
Sebuah pengakuan kebahagiaan.
Afrizal
Malna. Penyair yang menulis sajak-sajak dalam tempurung kepalanya.
Sartika Dian
Nuraini. Penyair yang menulis sajak-sajak dalam tempurung jiwanya.
Rewind. Aku ingin
membeberkan perihal pertemuan Afrizal dan Aku, sebuah pertemuan yang
membatalkan aku untuk/ke aku yang lain. Sebuah pertemuan yang mengijinkan aku
merevisi aku yang lain. Repair. Sebuah
pertemuan yang mengijinkan setiap biji-biji bahasa berjatuhan mengisi tubuh
bahasa yang lain. Inilah, pertemuan kami berdua. Reset.
Aku dan Afrizal bertemu dalam kondisi jiwa yang melayang-layang dan tak berpijak. Pikiran yang
belum menemukan bentuknya, oleh aku. Dan jiwa yang belum menemukan bentuknya,
oleh Afrizal. Semua berkumpul dalam satu aliran. Memberikan keutuhan aku untuk ketakutuhan
aku. Sebuah pertemuan dalam ikatan yang sakral, tanpa keegoisan dan tanpa
penguasaan. Berjalan di antara kulturnya dan naturnya yang bergerak terus, seraya mengurai dan menyibak misteri akunya dan akuku. Memberikan keindahan
pada setiap peristiwa yang menaunginya.
Pertautan
ini telah membongkar-rangkai sejarah tubuh kami, telah menjahit-tambal semua
yang bolong di baju-baju yang kami kenakan. 7 Januari 2013. Terjadilah sebuah
peristiwa sakral itu. Peristiwa yang telah mengikat kami ke dalam sebuah
cincin. Dan cincin itu menjadikan aku dan aku yang lain merekat dalam satu
lingkaran tak kosong. Sebuah lingkaran yang bernama Kita.
Segala tentangnya membuatku takluk dalam kekagumanku. Segala tentangku membuatnya takluk di dalam dan di luar kesunyiannya. Kami berdua saling menciptakan dalam kekaguman kami. Dan semua terjadi dalam proses di mana semesta mengirimkan hujannya setiap hari, sehingga kami saling mengadu pada hujan.
Afrizal:
“Hujan, aku kepingin lepas dari
rantai-rantai masalaluku. Aku ingin mengambil kehidupanku kembali. Aku ingin
keluar dari yang membuatku tenggelam. Kalau kamu mendengarku, aku ingin
mengambil hidupku yang baru bersama istri dan sekaligus kekasihku, Dian. Lalu keluar
beberapa titik air dari mataku.
Dan aku mulai menadahi air hujan, merasakan air
yang jatuh jauh dari sana. Yang tubuhku sendiri tak bisa menjangkaunya. Air
yang hujan di telapak tanganku itu, kemudian kubasuhkan ke wajahku. Lalu
istriku datang, ikut mengadu pada hujan. Aku memeluk tubuhnya yang membuat
jiwaku seperti bernafas kembali.”
Dian: “Hujan, kebahagiaan macam apa ini semua? Katakan padaku, bingkai seperti apa yang mampu membingkai kebahagiaan yang tiba-tiba jatuh dalam pelukanku ini.”
Kami
berdua terdiam lama. Saling tenggelam dalam pelukan dan ciuman kami.
Demikian
dariku, sebuah pembeberan atas pelebaran kebahagiaanku dan Afrizal Malna. Pelebaran
gelombang yang dipertemukan semesta dalam hujan dan batu-batu.
Salamku,
Sartika Dian
Nuraini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar