/I/
Hatiku yang biru laut,
museum mati,
manusia alpa puisi,
dan lukisan menangis.
Di dalam rumah itu,
tersimpan tanya kita berdua.
Hanya tanya yang berakhir
tanpa jawab. Aku mengerut. Sejarah merengut.
Kau menghiburku dengan
sepasang mata yang lembut,
yang tulus namun takut.
Kau ingin bawaku pergi dari
sejarah yang mati. Katamu.
/II/
Masihkah kau ingat stasiun
kereta untuk orang-orang kecil itu,
sebagai hidup sederhana nan
indah,
mendengar anak kecil
bersorak, bersepeda dikelilingi celotehmu
“Senja seperti
dongeng-dongeng kedodoran,” kataku
Aku mendengar kedip matamu
semacam mandi di sungai puisi.
Saksama. Hatiku mekar,
sungguh, mengelilingi kota tua ini,
Yang kembali hidup, jika
bersamamu
Kita berjalan di atas
tumpukan sejarah.
Dan legenda yang memerah.
Hanyut.
Aku tahu, semua hidup hanya
akan menjadi lusuh. Pabrik-pabrik lusuh,
rumah mewah para penjajah
lusuh, perdagangan air lusuh,
jembatan itu lusuh.
Bersamamu kota berbicara,
Tentang jejiwa jawa dan
leluhur kita.
Ramasinta dan cinta yang
datang sebelum itu.
Tubuh letih. Perlahan
memutih.
Suaramu beku, diamku beku.
Waktu pun beku.
“Kita dalam puja sejarah.”
katamu.
/III/
Alam berbaring tidur,
jendela terbuka tiba-tiba, angin
dan gigir malam manja.
Mungkin tenang dan berbayang
Kita seperti sepasang kota
tua yang tersudut dalam kotak usang.
Di sini, di sisi lain
kehidupan,
Kita mencipta sejarah
lengang.
*puisi ini ada di buku antologi 200 penyair Indonesia "Flow into the Sink, Into the Gutter" yang diterbitkan oleh Shell, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar