Deretak
Sartika
Dian Nuraini
Senja pecah. Angin masih saja
selembut kulit coklat asam yang terlipat di kelopak matamu. Aku ingin menjadi
debu yang menempel disana. Meski aku hanya patung. Meski tak ingin terbius
angin yang berpura-pura. Meski masih kuingat derut matamu dengan jelas. Gelombang tatapan itu
menggeranyam-di dadaku, hingga aku gugup berkeringat.
Lemas.
Lemas.
Dari detas cahayamu, kulihat bulan
patah. Aku adalah kepingan patung yang meminta sembah puji darimu. Meski kadang
aku menjelma menjadi embun bening, biar mampu meresap dalam daun-daun
keheningan tatapanmu itu. Dan kau kubiarkan jadi purnama yang meremangiku
mengecamba.
Di masa itu, setiap manusia
menjadi patung yang mengelana. Aku pun menjadi patung yang seringkali
menukar-nukar senja seenaknya. Kupikir, tiada salah selama masih ada matahari
yang berbeda-beda. Selama mendung berbeda-beda. Dan langit berbeda-beda. Selama
aku masih ingin menyimpannya untukmu, patung kecilku.
Langit yang berbeda-beda: "ini perempuankah aku?"
Langit yang berbeda-beda: Senja merah yang kujaga dalam deriji kecil itu.
Langit berbeda-beda.
Langit yang berbeda-beda: Senja merah yang kujaga dalam deriji kecil itu.
Langit berbeda-beda.
Setiap kali saat senja belum genap
setengah, selalu saja gelap membadai. Aku mulai merindukan keberadaanmu bila
senja berlalu singkat. Selebihnya aku tak sungkan menukar bulan jadi setengah
senja saja. Walau tak ada yang istimewa dariku. Sebuah patung kecil dari batu
cadas tanpa gerat gerigi.
Aku terus mengelana. Menjadi
patung kecil, memandangi pulau-pulau lain. Patung-patung lain. Dan cinta-cinta
lain. Aku terus membayangi diriku dengan khusyuk satu tatapanmu itu. Kau tutup
telingaku, kau tutup mataku, kau tutup segala yang mampu melihat keberadaanmu,
saat itulah deruk bayang-bayangmu seakan nyata. Jarak terbang seperti debudebu.
Aku semacam dihimpit cahaya dalam deretak ganjil yang serupa merah daun sumba.
Sore singgah. Beri aku lantai
agar aku bisa menidurkan kakiku yang bergetar tiap kali kau singgah. Tapi mungkin aku hanyalah geranggang rapuh, yang menjadi
benalu diri sendiri.
Aku masih menjadi patung kecil
saat kau wujudkan hari-hariku dengan makhluk kecil yang berlari-lari kecil. Aku
seperti diwarnai oleh kehadirannya yang masih kecil. Makhluk itu pemberianmu
dan pemberianku. Kita berdua ada di dalamnya. Kita berikan dia nafas kita
berdua, darah kita berdua, jantung kita berdua, lambung kita berdua, rambut
kita berdua, tulang kita berdua, tangan kita berdua. Kita jadikan dia manusia
seutuhnya. Mungkin karena kita jengah menjadi patung. Mungkin karena aku yang
terlalu takut ia membatu, sepertiku dan sepertimu. Aku terlalu takut. Kita
terlalu lelah menjadi patung.
Aku pun jengah menata tatapanmu.
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar