Bagi teman-teman yang sudah melongok blog ini dengan setia atau sudah merelakan diri untuk "mengikuti" perkembangan saya dan puisi-puisi saya melalui blog ini, saya sarankan untuk melihat alamat saya yang baru di sini:
http://blurmeacoffee.blogspot.com/
Mulai hari ini saya tidak akan memposting tulisan-tulisan di blog ini karena beberapa pertimbangan.
Saya terus bergerak dan tumbuh. Sesuai dengan apa yang saya hadapi, apa yang saya rasakan, apa yang saya pelajari dalam kehidupan ini. Saya juga mengharapkan perubahan dari komentar dan kritik teman-teman, secara langsung maupun tidak, disini:
@sartikadiann (twitter)
dan
www.facebook.com/sartika.d.nuraini
itu akun resmi saya. Tidak ada akun yang lainnya. Hubungan melalui surat bisa dilakukan di sini:
eyelight_princess@yahoo.com
atau di sini:
sartika.orabelle@gmail.com
Salam dan terimakasih.
sartika dian nuraini
Nairanjana
sungai yang terus mengalir...
Senin, 06 Mei 2013
Rabu, 06 Februari 2013
The Fucka Fuck//Persetan Dari Yang Persetan
The Fucka Fuck
The age of believe. The generation of dying. the cuts of
death in demonstration of body. The murder of Visual. Immense. Glory. Love. Masturbation.
Liberal thoughts. Demonstrations of language. Drags. Believe of nature. The androgyny.
The misogyny. Calculation of dying. calculation of shadows. The believe of
menstruation. The cuts of manufacturing body. The demarcation of moms and dads.
Dada. California. Dawn. Apocalypse. Doom.
Simplification of urine and shits. Application in the running
man. The cultivation of freedom. Being and non being. The van of morality in
fantasy. Marriage in the cuts of parents and children. Marriage without being
married. Its cult of womanhood. The cuts of cage. The rough of wound. Grind. Gleam.
The dog sits and cries. Aloud in the steep of sparkling time. The dying time.
Fuck the regulation. Fuck the hell and the belly of heavens.
Glisten. The bucks of shimmering lit. Lit of knowledge behind the back of
moonbeam. Revolution behind the insecure soul. Reversing culture in security,
by the cash I fling.
Manufacture of moves. Fuck the charming man I loved when he cheated on me. Fuck the colors of expressionism which hang me on the lands
of plato. Fuck off the literary critics that trashes some shits in my bedroom.
When the sun has blown the river smell. I can see. Where I should
go without books and dogma. I can go through the rime of rain, with my new
boots. Without where i should go. Without history. This is the end of believe. The end of solitude and a profound anxiety.
Persetan Dari
Yang Persetan
Suatu masa dalam
penjinakan. Generasi kematian. Pemotongan kematian dalam demonstrasi tubuh. Pembunuhan
visual. Kengerian. Kejayaan. Cinta. Masturbasi. Pikiran-pikiran liberal. Demonstrasi
bahasa. Menyeret. Percaya pada alam. Androgini. Misogini. Perhitungan pada yang
sekarat. Perhitungan pada bayangan. Percaya pada menstruasi. Pemotongan tubuh manufaktur.
Garis demarkasi antara ibu dan ayah dan aku. Dada. California. Waktu pagi. Bencana.
Kiamat.
Penyederhanaan antara urin dan kengerian. Aplikasinya di dalam tubuh yang berlari. Budidaya kebebasan. Menjadi kemakhlukan dan ketakmakhlukan. Kipas angin yang bergerak di dalam moralitas dan di dalam fantasi. Pernikahan dalam pemisahan orang tua dan anak. Pernikahan tanpa pernikahan. Sebuah kultus kewanitaan. Pembongkaran kerangkeng. Sekasar luka. Tajam. Bersinar. Seekor anjing duduk dan menangis. Keras dalam waktu curam berkilau. Waktu sekarat.
Persetan dengan peraturan. Persetan neraka dan perut langit. Berkilau. Para dolar dari yang berkilau menyala. Menerangi pengetahuan di balik punggung cahaya bulan. Revolusi di balik jiwa yang tidak aman. Mengubahnya menjadi kultur yang aman, dengan uang yang kulemparkan.
Industri bergerak. Persetan dengan pria menawan yang aku cintai ketika ia menyelingkuhiku. Persetan dengan warna-warna ekspresionisme yang menggantungku di tanah plato. Persetan para kritikus sastra yang memberaki kamar tidurku.
Ketika matahari telah ditiup dari bau sungai. Aku bisa melihat. Kemana aku harus pergi tanpa buku dan dogma. Aku bisa pergi melalui rinai hujan, dengan sepatu bootsku yang baru. Tanpa tahu kemana. Tanpa sejarah. Ini adalah akhir dari masa-masa penjinakanku. Akhir dari kesendirian dan kecemasan yang mendalam.
Penyederhanaan antara urin dan kengerian. Aplikasinya di dalam tubuh yang berlari. Budidaya kebebasan. Menjadi kemakhlukan dan ketakmakhlukan. Kipas angin yang bergerak di dalam moralitas dan di dalam fantasi. Pernikahan dalam pemisahan orang tua dan anak. Pernikahan tanpa pernikahan. Sebuah kultus kewanitaan. Pembongkaran kerangkeng. Sekasar luka. Tajam. Bersinar. Seekor anjing duduk dan menangis. Keras dalam waktu curam berkilau. Waktu sekarat.
Persetan dengan peraturan. Persetan neraka dan perut langit. Berkilau. Para dolar dari yang berkilau menyala. Menerangi pengetahuan di balik punggung cahaya bulan. Revolusi di balik jiwa yang tidak aman. Mengubahnya menjadi kultur yang aman, dengan uang yang kulemparkan.
Industri bergerak. Persetan dengan pria menawan yang aku cintai ketika ia menyelingkuhiku. Persetan dengan warna-warna ekspresionisme yang menggantungku di tanah plato. Persetan para kritikus sastra yang memberaki kamar tidurku.
Ketika matahari telah ditiup dari bau sungai. Aku bisa melihat. Kemana aku harus pergi tanpa buku dan dogma. Aku bisa pergi melalui rinai hujan, dengan sepatu bootsku yang baru. Tanpa tahu kemana. Tanpa sejarah. Ini adalah akhir dari masa-masa penjinakanku. Akhir dari kesendirian dan kecemasan yang mendalam.
Senin, 04 Februari 2013
Pikiran yang
Berjiwa dan Jiwa yang Berpikir
Sebuah pengakuan kebahagiaan.
Afrizal
Malna. Penyair yang menulis sajak-sajak dalam tempurung kepalanya.
Sartika Dian
Nuraini. Penyair yang menulis sajak-sajak dalam tempurung jiwanya.
Rewind. Aku ingin
membeberkan perihal pertemuan Afrizal dan Aku, sebuah pertemuan yang
membatalkan aku untuk/ke aku yang lain. Sebuah pertemuan yang mengijinkan aku
merevisi aku yang lain. Repair. Sebuah
pertemuan yang mengijinkan setiap biji-biji bahasa berjatuhan mengisi tubuh
bahasa yang lain. Inilah, pertemuan kami berdua. Reset.
Aku dan Afrizal bertemu dalam kondisi jiwa yang melayang-layang dan tak berpijak. Pikiran yang
belum menemukan bentuknya, oleh aku. Dan jiwa yang belum menemukan bentuknya,
oleh Afrizal. Semua berkumpul dalam satu aliran. Memberikan keutuhan aku untuk ketakutuhan
aku. Sebuah pertemuan dalam ikatan yang sakral, tanpa keegoisan dan tanpa
penguasaan. Berjalan di antara kulturnya dan naturnya yang bergerak terus, seraya mengurai dan menyibak misteri akunya dan akuku. Memberikan keindahan
pada setiap peristiwa yang menaunginya.
Pertautan
ini telah membongkar-rangkai sejarah tubuh kami, telah menjahit-tambal semua
yang bolong di baju-baju yang kami kenakan. 7 Januari 2013. Terjadilah sebuah
peristiwa sakral itu. Peristiwa yang telah mengikat kami ke dalam sebuah
cincin. Dan cincin itu menjadikan aku dan aku yang lain merekat dalam satu
lingkaran tak kosong. Sebuah lingkaran yang bernama Kita.
Segala tentangnya membuatku takluk dalam kekagumanku. Segala tentangku membuatnya takluk di dalam dan di luar kesunyiannya. Kami berdua saling menciptakan dalam kekaguman kami. Dan semua terjadi dalam proses di mana semesta mengirimkan hujannya setiap hari, sehingga kami saling mengadu pada hujan.
Afrizal:
“Hujan, aku kepingin lepas dari
rantai-rantai masalaluku. Aku ingin mengambil kehidupanku kembali. Aku ingin
keluar dari yang membuatku tenggelam. Kalau kamu mendengarku, aku ingin
mengambil hidupku yang baru bersama istri dan sekaligus kekasihku, Dian. Lalu keluar
beberapa titik air dari mataku.
Dan aku mulai menadahi air hujan, merasakan air
yang jatuh jauh dari sana. Yang tubuhku sendiri tak bisa menjangkaunya. Air
yang hujan di telapak tanganku itu, kemudian kubasuhkan ke wajahku. Lalu
istriku datang, ikut mengadu pada hujan. Aku memeluk tubuhnya yang membuat
jiwaku seperti bernafas kembali.”
Dian: “Hujan, kebahagiaan macam apa ini semua? Katakan padaku, bingkai seperti apa yang mampu membingkai kebahagiaan yang tiba-tiba jatuh dalam pelukanku ini.”
Kami
berdua terdiam lama. Saling tenggelam dalam pelukan dan ciuman kami.
Demikian
dariku, sebuah pembeberan atas pelebaran kebahagiaanku dan Afrizal Malna. Pelebaran
gelombang yang dipertemukan semesta dalam hujan dan batu-batu.
Salamku,
Sartika Dian
Nuraini
Cangkir Kering di Kapal Siar//Dry cup in The Cruise Ship
Cangkir Kering di Kapal Siar
Aku
mengisi sebuah cangkir dengan dua cangkir kering. Spaghetti a La Carbonara di barisan kereta menuju Ukraina. Pelarian
gugup dengan dua botol bir yang berkeringat. Sedingin keringat dingin dari
telapak tanganku. Lebih dingin dari musim dingin dalam film-film holywood.
Anjing
melolong. Di bawah pohon hitam di bawah salju pada pucuknya yang menghujam
komplek perumahan berwarna pucat. Seekor burung telah turun dari terbangnya.
Saat menghunjam kesejukan salju itu, aku telah berdiri di atas asingku. Akan
telah membeku. Sesuatu dari batu telah memantulkan gemerincingnya. Menjadi kaca
yang merajam pecahan-pecahan lain di tubuhku.
Aku
ingin tidur dalam sebuah gembala panjang, menjadi asap-asap dari senar-senar
piano yang terbakar. Ingin kupeluk dirimu, tetapi sungkan di atas namaku yang
baru. Benang-benang rumit itu. Benang-benang setelah beberapa hari menjahit
yang terobek di punggung kita. Aku terkapar. Aku terkapar dalam identitas kapal
siar dari aglomerasi cahaya. Aku berdiri dan tidur dalam teriakan diamku.
Seekor
burung yang terbang dari Kiev, menatapku dengan gusar dan bertanya. Akankah
dentang waktu telah membuktikan kebenaran imajinasimu? Aku telah menikah dalam
imajinasi. Dulu benar. Aku telah menikah dengan lelaki di dalam imajinasiku.
Kau mungkin masih bertanya. Sekarang benar. Tapi dentang waktu telah membuang
mukaku ke arah utara. Menjauhi lubang di matamu. Membuang nafas yang memburu
nafas. Aku yang rebah saat bahasa belum menjadi sepatu hangat untukku.
Lihatlah.
Cangkir telah menjadi lembab oleh pangkuanmu saat membacakan aku sebuah puisi.
Dan aku kelaparan setelah menjadi liberal semalaman.
Dry cup in The Cruise Ship
I filled a cup with two dry cups. Spaghetti A La Carbonara in the line trains to Ukraine. Escaping nervous with two bottles of sweating beers. Cold as the cold sweat of my palms. Colder than winter in Hollywood movies.
The dogs barked. Under the black trees, under the snow on a pierced bud pale of blogs of
apartments. A bird flew and swooped down. Alight from flying. Pierced the coldness of snow, I've stood on my alien
self. Would have been frozen. Something of the stones has been reflecting its jingle. Being a glass that shards another fraction on my body.
I want to sleep in a long shepherd, and be fumes from the piano strings on fire. Want to hug you, but hesitate at my new name. These knotty threads. The threads after a few days sewing on the chlothes that torn at our backs. I'm lying. I lay in the identity of the Cruise ship from an agglomeration of light. I stood up and sleep in my silent cries.
A bird that flew from Kyiv, looked at me and asked,
exasperated. Will the clang of time has proven the truth of imagination? I was married to imagination. First it was. I have been married to a man in my imagination. You may be asking. Now it is. But the time had wasted my face which clang to the north, avoiding holes in your eyes. To throw my breath hunting my
breathe. When I fall down at the language that doesnt even yet become a warm shoes for me.
Look. The cup has become moist by your lap while you read me a poem. And I am starving after becoming liberal overnight.
and I am bloody thirsty after a liberal night.
Sartika Dian Nuraini
Langganan:
Postingan (Atom)