Wawancara dengan Lelaki Tertidur
Kata-kata dalam
selimut yang baru saja kami beli, minggu sore. Ia tertidur dalam genangan kopi
panas dan rokok kreteknya yang membakar malam. Seakan mengarungi gigil waktu
yang bersembunyi di balik rok merahku. Sebuah tv menyala di dalamnya.
Percakapan itu terjadi di antara gelombang kesadaranku dan ketaksadarannya.
Sesuatu menyala, lampu neon dengan lapisan-lapisan suara tubuh kami yang
terbakar oleh dingin. Bulan mendengkur di atas kepalanya.
Lelaki itu
terpejam dalam tatapanku. Aku mengintip segaris mata yang mengendapkannya dalam
mimpi. Ia tidur.
“Afrizalku.”
Ia tersenyum.
Bagaimana
bisa ia tertidur dan tersenyum? Bagaimana bisa ia mendengarku saat tertidur?
“Ya, dianku.” Jawabnya dengan suara yang
membuatku tahu, ia benar-benar tidur.
“Kau belum tidur?”
Kataku.
“Belum.”
Katanya, sambil terpejam. Aku mengintip matanya lagi.
Matanya masih
mengekor di dalam mimpi.
“Baby.” Kataku lagi.
“Ya, Bunda.”
Bagaimana
bisa ia memasangkan antara Baby dengan Bunda dalam genangan mimpinya? Pikirku. Ah, aku baru tahu. Dalam tidur pun, pikirannya terus bergerak.
“Sayang.” Kataku, mencoba memastikan.
“Ya. Sayangku.” Jawabnya dengan tangan yang
mencoba merangkulku, tetapi kupikir mimpinya lebih kuat dari kekuatannya
mengangkat tangan. Pikirannya masih
bergerak dengan memasangkan kata Sayang dariku dan kata Sayang darinya.
Itu membuatku
tersenyum picik. Di dalam tidur, kupikir, orang-orang tidak bisa membohongi
kenyataan.
Ia seringkali
mengucap cinta untukku, tetapi ia seorang penyair. Kau bisa tahu, kata cinta
seorang penyair terkadang diucapkan hanya sebagai laporan kefiksian.
Mataku bergidik.
Picik. Aku harus tahu, apakah penyair ini benar-benar mencintaiku.
“Apakah
kau benar-benar mencintaiku?”
Kataku lagi. Jam 2 pagi.
Dan jam 2 pagi
lebih satu detik, ia menjawab.
“Ya,
sayang. I love you. I love you, dian.”
Masih dengan mata yang pulas dalam mimpi.
Menutup dan
membuka kegelisahanku selama ini. Seperti menutup kembali tutup bir yang
dibukanya semalam. Menutup semua keraguanku padanya.
Malam hampir
pagi yang menjadi kisah manis untukku. Lelaki itu sungguh-sungguh mencintaiku.
Di luar dan di dalam tidurnya.
Pagi hari saat
aku membuka korden yang baru aku beli bersamanya minggu sore, aku bertanya
lagi.
“Afrizal, apakah
kau ingat percakapan kita semalam jam 2 pagi?”
Ia duduk dengan
secangkir kopi dan rokok kreteknya di sofa coklat yang baru kubeli bersamanya,
minggu sore.
Dari kerutan
keningnya, aku tahu. Ia tidak tahu aku telah mewawancarainya.
Sartika
Dian Nuraini
Miniatur
Libur Dalam Mimpi
Sebuah kota dan cafe yang berjalan di atas jalan lecet. Dinding gedung-gedung bioskop tanpa penghuni. Sebuah cafe di antara miniatur hotel, miniatur hari libur. Di atasnya tergeletak sebuah foto bergambar keluarga-keluarga mati.
Sembilan cahaya menuang keraguan lagi. Kemudian
masuk dalam mimpiku, busuk. Peristiwa telaga busuk di tepi sebuah rumah tembok
tebal dan tinggi. Seorang perempuan menyuruhku menuang air ke dalam telaga
busuk itu. Untuk menyelamatkanmu.
Sebuah mimpi adalah serbuan pedang di angkasa. Cahaya-cahayanya menjadi kilauan rasa sakit dalam masuk dan keluarnya. Sebuah mimpi menjadi nafas di setiap nafas yang bernafas cepat. Tapi tubuhmu, tubuh yang terlilit ular-ular penghisap ruh kita.
Semua terdampar dalam telaga kering yang busuk. Aku dengan dua ember itu. Dua ember di tangan kanan dan kiriku. Aku khawatir air-air tumpah sebelum aku dapat menyiramnya. Lumut-lumut hijau yang meranggas, seperti ingin menelan kakiku di pematang perjalanan menujunya.
Mata telaga tumpah di atas kepala malaikat yang melindungiku. Dengan bintang-bintang berjatuhan di dalam mataku yang terpejam. Batu-batu itu. Batu-batu kita.
Dan kita berjalan di atas telaga kering itu.
Sartika Dian Nuraini
Cairan masalalu
Untuk
Afrizal Malna
Segaris mata
dengan kata-kata basi, tetesan hujan dalam sebuah jaket merah. Aku mendengar
dan membuka jalan kesunyian itu, meraungkan keraguan di telinga kiriku. Aku
terus melaju di jalanmu. Gelap yang basah. Daun-daun basah. Kau menyala lagi.
Aku meredup. Kita adalah cahaya yang tertutup tirai-tirai luka. Mengering.
Mengeras seperti batu.
Tetapi apa yang
memanggilku kembali? Sepuluh kakimu? Sepatu yang enggan kupakai? Dekapan hujan?
Dekapan rumah? Selimut basah, atau udara sebagai asap kepanikanku ini?
Sebuah jam mati
menusukku dalam malam yang rusak oleh ranting-ranting patahku tadi. Patung
kecil dengan teriakan-teriakan warna merah, terhimpit oleh warna kuning dan
putih dalam tidurmu.
Kesunyianmu,
siaku.
Tapi kau
menggali lebih dalam di mataku.
Lidahku dan
lidahmu, membuka jalan masuk. Membungkus cairan serupa bunyi-bunyi jiwa. Kita
mungkin ada di dalamnya. Ikatan ini, menusukmu. Ikatan ini, menusukmu dan
kemudian menusukku. Di antara lubang yang saling melubangi. Di antara malam
yang berisi cerobong, dengan asap tebal dari segala lubang di rumah kita. Mata
ini seperti tak mungkin menampung hujan lagi. Karena hujan telah mengeras di
mataku.
Dan kemarahanku
Berisi cairan
masa lalumu.
Sartika
Dian Nuraini
Feodalisme
Luka Perempuan
Waktu:
semua bermula dari sumbu neraka yang kita mainkan.
Aku ingin mengukur alismu. Empat jam tertidur dalam bekas putih, tisu yang menjadi merah. Sembilan jam menunggu darah itu. 22 tahun menunggu darah itu. Tisu-tisu kotor itu. Berisi kantung petir. Mengusia. Mengendap dalam akulturasi dan doktrinasi usang bekas perempuan masalalu. Tapi perempuan masa kini berkata: “Aku tak mungkin menjadi bekas perempuan.”
Beberapa ketukan kaki di atas kepalamu. Seperti merangkum bingkai kita yang tersedak dalam hari-hari puisi. Merendam air liur berisi tubuh sakralku. Kau yang mengagungkan pembebasan. Kau yang berjalan menjauhi kancil-kancil itu.
Tapi lukamu tergeletak di atas tubuhku. Yang masih putih dalam pelukanmu yang lebih perjaka. Tubuhku adalah sumbu neraka yang diciptakannya sendiri. Kategori di dalam kategori.
Kau ingin tahu, darahku telah habis. Kau isi lagi. Kau isi dengan magisnya keperjakaanmu yang menggenangi tisu putihku. Feodalisme atas tubuhku dan tubuhmu. Superego dari kekanakan kita. Filsafat telah menjadi tisu. Kita telah bunuh perang-perang itu. Siapa darahku? Di dalamnya aku tak ingin menjadi bekas perempuan. Sumbu neraka adalah ciuman kita yang menantang petir-petir itu.
Sartika Dian Nuraini
Seprai
Perempuan Jawa
Batu
sungai mengelilingiku. Pecahan gelas kaca yang menusuk kakimu. Kakiku yang
memecahkan gelas itu. Lukamu memang harus dikeluarkan. Kepedihan yang
memotretnya, lampu lampion yang melihatnya. Warna pada tumbuhan. Malam pada
binatang melata. Desa-desa sunyi dari kegadisanku.
Aku silau di atas kepalamu, aku menciumnya. Aku menciumnya di balkon filsafat yang telah mati hidup dalam keringatku. Bau sastra. Bau lembah. Bau keheningan yang memancar dalam neraka puitika. Sebuah lembah perempuan. Sebuah seprai kotor oleh segerombolan kultur Jawa. Konservatisme telah mati di atas seprai putih itu. Menghidupi cinta kita yang menggema dalam alunan kaki-kakiku yang kau siram dengan bau bunga.
Percakapan yang hilang. Percakapan dan tawa keras oleh pijatan kata-kata. Rayuan dalam rinai hujan yang melompat-lompat. Pembatalan atas aku. Seorang ibu pencuci ruangan dengan baju ketulusan dan senyum yang tersungging manis setiap kali melihat kita berpelukan. Aku mencium kepalamu yang mengucurkan puisi Indonesia. Di balik bunga terompet ungu dan dibalik salon sepatu yang tersiksa berjalan di atas batu-batu itu.
Ini bukan pameran warna-warna matahari. Bukan pula pameran hujan. Ini pameran batu-batu. Dan jiwa kita telah berpijak di atasnya.
Setiap
hari setelah ini,
Aku
akan mengeramasi rambutku
Dengan
kata-katamu
Sartika Dian Nuraini